Minggu, 30 Oktober 2016

Teori Ilmu Administrasi Klasik, neo klasik, dan modern



TUGAS INDIVIDU
“TEORI ILMU ADMINISTRASI KLASIK, NEO KLASIK, MODERN”





OLEH :
INDASARI
105610539615
III.E (05)
ILMU ADMINISTRASI NEGARA (IAN)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016




A. KLASIK
TEORY BIROKRASI
(MAX WEBER)


                       

Max Weber (1864-1920) seorang ahli sosiologi Jerman yang lahir di Erfurt, Thungiria tahun 1864 dan juga dikenal sebagai bapak Birokrasi. Beliau  merupakan salah satu perintis utama studi mengenai organisasi. Analisanya mengenai Birokrasi sebagai tipe ideal, pendapatnya ini sangat berbeda dengan pandangan umum yang melihat sisi negatifnya saja.  
Weber menyajikan secara detail tentang organisasi birokrasi yang ideal dalam karyanya berjudul Birokasi, diterbitkan pada tahun 1922. Weber percaya bahwa salah satu karakteristik utama masyarakat industri adalah dorongan untuk merasionalkan proses sosial dan ekonomi. Rasionalisasi yang dimaksud adalah the calculated matching means and ends to achieve social and economic objectives with the greates possible efficiency (pemaduan sarana dan tujuan untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi seefisien mungkin (islamy, 2003).karena itu jenis birokrasi seperti ini ia namakan sebagai birokrasi tipe ideal atau model organisasi yang rasional.
Dibawah ini merupakan penjelasan mengenai tipe otoritas, bentuk organisasi sosial dan konsep birokrasi dari Max weber itu sendiri.

A.  Tipe Otoritas
Tindakan-tindakan sosial individu (dengan makna-makna yang berkaitan) membentuk bangunan dasar untuk struktur-struktur sosial yang lebih besar. Dalam The Theory of Social Economic Organization, Weber meletakan dasar ini dengan mengembangkan serangkaian distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari tingkatan hubungan sosial ke tingkatan keteraturan ekonomi dan sosial politik. Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik dan agama serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Stabilitas keteraturan sosial yang absah tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja (artinya, uniformitas perilaku tidak diperkuat oleh sanksi eksternal) atau pada kepentingan diri individu yang terlibat. Sebaliknya, itu didasarkan pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-peraturan yang mendasari keteraturan itu sebagai sesuatu yang bisa diterima atau diinginkan. Norma-norma atau peraturan-peraturan ini mungkin/bisa didasarkan pada konvensi dan hukum. Pembedaan diantara keduanya adalah bahwa hukum diperkuat oleh suatu badan khusus, sedangkan konvensi didukung oleh tanggapan masyarakat pada umumnya.

Weber menunjukan empat dasar legitimasi yang berbeda-beda, yang mencerminkan tipologi tindakan sosial seperti berikut :
1.    Karena tradisi; suatu kepercayaan akan legitimasi mengenai apa yang sudah selalu ada ;
2.    Berdasarkan sikap-sikap efektual, terutama emosi, yang melegitimasi validitas mengenai apa yang baru diungkapkan atau suatu model untuk ditiru;
3.    Berdasarkan kepercayaan rasional akan suatu komitmen absolut dan terakhir;
4.    Karena dibentuk dalam suatu cara yang diakui sebagai yang sah.
Hubungan sosial dalam berbagai tipe keteraturan sosial yang baru diperlihatkan itu menunjukan keanekaragaman yang berbeda-beda. Weber mengidentifikasikan beberapa tipe yang berbeda, tetapi dia khususnya tertarik pada hubungan yang muncul dalam organisasi dalam suatu struktur otoritas yang mapan, artinya suatu struktur dimana individu-individu yang diangkat, bertanggung jawab untuk mendukung keteraturan sosial itu. Hubungan seperti itu, kalau tertutup untuk orang luar, kecuali kalau mereka diperbolehkan menurut peraturan, dapat dilihat sebagai “kelompok yang berbadan hukum” (coorporate group). Kalau hubungan itu bersifat asosiatif (rasional) dan bukan komunal (emosional), meliputi staf administratif dan tunduk pada suatu tipe kegiatan tertentu yang terus-menerus, maka hubungan itu menunjukan pada “organisasi yang berbadan hukum”. (Hubungan asosiatif didasarkan pada persetujuan rasional; hubungan komunal meliputi perasaan subyektif).
Namun perhatian Weber yang utama adalah pada landasan keteraturan sosial yang absah. Ini berarti bahwa keteraturan sosial dan pola-pola dominasi yang berhubungan dengan itu diterima sebagai yang benar, baik oleh mereka yang tunduk pada suatu dominasi maupun mereka yang dominan. Pola-pola dominasi mencerminkan terutama strukutur otoritas, bukan struktur kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan seseorang walaupun mendapat perlawanan; otoritas adalah hak untuk mempengaruhi karena didukung oleh peraturan dan norma yang mendasari  keteraturan sosial. Penggunaan otoritas tergantung pada kerelaan pihak bawahan untuk patuh pada perintah orang yang memiliki otoritas. Tingkat kerelaan ada macam-macam dalam situasi yang berbeda-beda. Tambahan pula, mereka yang berasa dalam posisi otoritas biasanya mempuanyai struktur kepentingan untuk memperkuat kepercayaan akan legitimasi.
Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas; ketiganya dibuat berdasarkan tipologi tindakan sosial yang sudah kita lihat di atas. Masing-masing tipe berhubungan dengan tipe struktur administratifnya sendiri dan dinamika sosialnya sendiri yang khusus. Tipe-tipe ini, dalam hubungannya dengan struktur administratif terbagi menjadi tiga otoritas yakni ototritas tradisional, karismatik dan legal rasional.

1.    Otoritas tradisional
Otoritas tradisional adalah otoritas di mana legitimasi tokoh otoritas didasarkan sekitar kustom. Legitimasi dan kekuatan untuk kontrol diturunkan dari masa lalu dan kekuatan ini dapat dilaksanakan dengan cara yang cukup diktator. Ini adalah jenis otoritas dalam mana hak-hak tradisional individu yang kuat dan dominan atau kelompok diterima atau setidaknya tidak ditantang oleh individu bawahan.

Menurut Weber otoritas tradisional adalah sarana yang ketidaksetaraan yang diciptakan dan dipelihara. Jika tidak ada yang menantang otoritas tradisional atau pemimpin kelompok pemimpin akan tetap dominan. Juga baginya blok kekuasaan tradisional perkembangan rasional-legal bentuk otoritas sudut pandang dia sangat parsial.

2.    Otoritas Karismatik
Otoritas karismatik ada ketika kontrol orang lain didasarkan pada karakteristik pribadi seseorang seperti keahlian etis heroik atau agama yang luar biasa. Pemimpin karismatik dipatuhi karena orang merasa ikatan emosional yang kuat kepada mereka. Hitler Gandhi Napoleon dan Julius Caesar semua pemimpin karismatik. Apakah kekuatan tersebut sebenarnya ada tidak relevan fakta bahwa pengikut percaya bahwa kekuatan seperti itu ada adalah apa yang penting.
Weber menganggap karismatik menjadi pengemudi dan kekuatan kreatif yang melalui otoritas tradisional serta peraturan yang ditetapkan. Satu-satunya dasar otoritas karismatik adalah pengakuan atau penerimaan dari klaim pemimpin oleh pengikut. Otoritas karismatik bisa menjadi revolusioner di alam menantang otoritas tradisional dan terkadang rasional-hukum. Tipe otoritas ini dengan mudah bisa berubah menjadi otoritas tradisional di mana kekuasaan tersebut dilakukan oleh mereka yang mengelilingi pemimpin karismatik.
Otoritas karismatik merupakan kebalikan dari kegiatan rutin dan merupakan keinginan untuk gangguan dan perubahan tatanan sosial yang berlaku. Ini adalah bagian penting dari dialektika antara kebutuhan manusia untuk struktur dan kebutuhan sama-sama manusia untuk variasi dan inovasi dalam masyarakat. Otoritas karismatik berbeda dari otoritas rasional atau tradisional karena berkembang bukan dari tatanan yang sudah mapan atau tradisi melainkan dari kepercayaan khusus pemimpin karismatik dalam menginduksi pengikutnya kekuatan aneh dia pameran dan kualitas unik yang dimilikinya. Menurut Weber sulit bagi para pemimpin karismatik untuk mempertahankan otoritas mereka karena pengikut harus terus melegitimasi otoritas ini. Ada kebutuhan bagi pemimpin karismatik untuk terus menunjukkan kinerja kepemimpinan untuk pengikutnya agar memperkuat legitimasi kekuasaannya.

3.    Otoritas Legal Rasional
Otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal disebut weber dengan istilah otoritas legal-rasional. Tipe ini sangat erat kaitannya dengan rasionalitas instrumental. Tipe ini berbeda dengan otoritas tradisional dan karismatik dalam sifat impersonal pelaksanaannya. Singkatnya, orang yang sedang melaksanakan ototritas legal-rasional adalah karena dia memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang sah didefinisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bahwa tunduk pada otoritas karena posisi sosial yang mereka miliki mengharuskan hal tersebut dalam bidang-bidang tertentu.
Seleksi terhadap orang-orang untuk menduduki posisi otoritas itu atau posisi bawahan juga diatur secara eksplisit oleh peraturan yangs ecara resmi adalah sah. Misalnya, peraturan mungkin menjelaskan persyaratan-persyaratan tertentu menurut pendidikan atau keahlian. Bagaimanapun juga komitmen individu terhadap hubungan yang meliputi penggunaan otoritas legal-rasional berlandaskan pada komitmennya yang lebih umum terhadap peraturan-peraturan impersonal yang mendefinisikan dan mengatur hubungan itu. Singkatnya, peraturan-peraturan itu apabila diundangkan menurut prosedur yang diterima dan sah, dilihat sebagai sesuatu yang mengikat dan absah.

B. Bentuk Organisasi Birokratis
Otoritas legal Rasional dapat mengambil varietas bentuk-bentuk struktural, tetapi bentuk yang paling menarik perhatian weber ialah birokrasi, yang dianggap sebagai “tipe pelaksanaan otoritas legal yang paling murni”. Analisa Max Weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokrasi berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat di masa kini yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar (extended family) dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang efisien, sistematis dan dapat diramalkan. Seperti yang dilihatnya langsung dalam masyarakat sendiri, yang dikuasai ketika sedang berada di bawah birokrasi militer dan birokrasi politik Prusia, dan ketika dia melihat perkembangan sistem administrasi industri dan administrasi politik nasional di negara-negara Barat lainnya,dia mendapat kesan bahwa perkembangan dunia modern ditandai oleh semakin besarnya pengaruh birokrasi. Bentuk organisasi sosial birokratis, yang mencerminkan suatu tingkat rasionalitas instrumental yang tinggi, mampu berkembang pesat dengan menggeser bentuk-bentuk tradisional hanya karena efesiensinya yang besar itu.

Sebagian besar analisa Weber mengenai birokrasi mencakup karakteristik-karakteristik struktural yang istimewa, yang dilihatnya sebagai tipe ideal yaitu :
1.      Aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktifitas organisasi.
2.      Spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi  pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit kedalam aktivitas yang khusus tersebut, maka produktifitas pekerja dapat ditingkatkan.
3.      Hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal diantara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Prinsip pertingkatan ini dan derajat wewenang merupaka sistem yang tegas perihal hubungan atasan dengan bawahan teradap bawahan oleh atasannya.
4.      Pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tekhnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebangkan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
5.      Mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugas-tugasnya.
6.      Impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil diantara anggota organisasi mengarahkan individu kedalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus konsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi didalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu
7.      Uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harum mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
8.      Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapain tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalangkan dengan kaidah dan panduan pemaksaan yang logis dan bisa diprediksikan.
Tipe ideal meliputi seleksi atas ciri-ciri suatu gejala empirik yang kelihatannya behubungan secara logis dan berarti, meskipun  kerangka atau ciri-ciri ini secara empirik tidak pernah ada dalam bentuk murni. Misalnya tipe ideal mengenai birokrasi menekankan sifat hubungan sosial yang impersonal, tetapi organisasi birokratis yang sebenarnya tidak pernah sepenuhnya mengabaikan atau mencegah timbulnya hubungan-hubungan pribadi.
Birokrasi Khas-Ideal Weber melukiskan birokrasi-birokrasi dalam istilah tipikal ideal:
“Dari suatu sudut pandang teknis belaka, suatu birokrasi mampu mencapai derajat efisiensi tertinggi, dan dalam pengertian itu secara formal birokrasi adalah alat paling rasional yang diketahui bagi pelaksanaan otoritas atas umat manusia. Birokrasi lebih unggul dibandingkan setiap bentuk pelaksanaan otoritas lainnya dalam hal presisi,stabilitas, keketatan displinnya, dan dalam keandalannya. Oleh sebab itu, birokrasi memungkinkan derajat kalkulabilitas hasil yang sangat tinggi untuk para kepala organisasi dan untuk orang-orang yang bertindak terkait dengannya. Akhirnya, birokrasi lebih unggul baik dalam hal efisiensi intensif maupun dalam hal cakupan kegiatannya dan secara formal dapat diterapkan kepada segala jenis tugas administratif.” (Weber, 1921/1968:223)
            Weber juga mengatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, dimana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin” . sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapapun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Meskipun ada diskusinya mengenai sifat-sifat positif birokrasi, disana-sini didalam karyanya, ada ambivalensi fundamental dalam sikapnya terhadap birokrasi. Kendati Weber memerinci keuntungan-keuntungan birokrasi, dia sadar betul atas masalah-masalah yang ditimbulkannya. Weber mengungkapkan berbagai keberatan tentang organisasi-organisasi birokratik. Contohnya, dia sadar atas “kelakuan birokrasi” (red tape) yang sering membuat urusan dengan birokrasi begitu menjengkelkan dan begitu sulit. Akan tetapi, ketakutannya yang utama ialah, bahwa rasionalisasi yang mendominasi semua aspek kehidupan birokrasi adalah suatu ancaman bagi kemerdekaan individu. Seperti dinyatakan weber:
“Tidak ada mesin yang berfungsi begitu seksama di dunia seperti para aparat manusia ini dan, yang begitu murah. Kalkulasi rasional mereduksi setiap pekerjaan menjadi suatu gigi roda didalam mesin birokratis ini dan, ketika melihat dirinya sendiri dalam kondisi demikian, dia hanya akan menanyakan cara untuk mengubah dirinya agar bisa menjadi sebuah gigi roda yang agak lebih besar.  Nafsu utnuk birokratisasi mendorong kita menuju keputusan.”

Weber dikejutkan oleh efek-efek birokratisasi dan yang lebih umum lagi efek-efek rasionalisasi dunia. Birokratisasi hanyalah satu komponen dari rasionalisasi dunia. Weber tidak melihat ada jalan keluar. Dia melukiskan birokrasi sebagai lembaga-lembaga yang “escape proof” (tidak bisa dielakkan), “nyaris tidak tergoyahkan,” dan salah satu diantara hal-hal yang paling sulit dihancurkan sekali ia dibentuk. Dengan nada yang sama dia merasa bahwa para birokrat individual tidak dapat “mengeliat keluar” dari birokrasi sekali mereka “dipasang” didalamnya (untuk pandangan yang kurang mengecutkan hati mengenai birokrasi, liat klagge, 1997). Weber menyimpulkan bahwa “masa depan adalah milik birokratisasi” dan waktu telah membuktikan prediksinya.
Weber akan mengatakan bahwa pelukisannya atas keuntungan-keuntungan birokrasi adalah bagian dari gambaran tipikal idealnya atas cara kerja birokrasi. Birokrasi yang tipikal ideal adalah suatu pembesar-besaran yang disengaja mengenai sifat-sifat rasional birokrat. Model yang dibesar-besarkan itu bermanfaat untuk maksud-maksud heuristik dan untuk mempelajari organisasi-organisasi di dunia nyata, tetapi jangan disalah pahami sebagai pelukisan yang realistis mengenai cara kerja birokrasi yang sesungguhnya.

Weber membedakan birokrasi yang ditipikal-ideal dari birokrat yang tipikal-ideal. Dia membayangkan birokrasi sebagai sturktur-struktur dan para birokrat sebagai posisi-posisi yang ada didalam struktur-struktur itu. Weber tidak  memberikan suatu psikologi sosial mengenai organisasi atau mengenai para individu yang menghuni birokrasi itu, seperti yang dapat kita harapkan ketika dia berorientasi tindakan atau seperti yang dapat dilakukan para interaksionis simbolik modern.
Birokrasi yang tipikal-ideal adalah suatu tipe organisasi. Unit-unit dasarnya adalah jabatan-jabatan yang di atur dengan cara hierarkis disertai aturan-aturan, fungsi-fungsi, dokumen-dokumen tertulis dan alat-alat pemaksa. Semua itu, pada derajat yang bervariasi, adalah struktur-struktur berskala besar yang menggambarkan arah pemikiran weber. Terutama, dia dapat merumuskan suatu birokrasi tipikal-ideal yang berfokus pada pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan para individu yang ada didalam birokrasi. Ada suatu aliran pemikiran yang lengkap dalam studi mengenai organisasi-organisasi yang berfokus secara seksama pada level tersebut ketimbang pada struktur-struktur birokrasi.
Berikut ini adalah sifat-sifat utama birokrasi yang tipikal-ideal :
1.    Suatu pengaturan fungsi resmi yang terus menerus diatur menurut peraturan
2.    Suatu bidang keahlian, yang meliputi:
a)      Bidang kewajiban melaksanakan fungsi yang sudah ditandai sebagai bagian dari pembagian pekerjaan yang sistematis
b)      Ketetapan mengenai otoritas yang perlu dimiliki seseorang yang menduduki suatu jabatan untuk melaksanakan fungsi-fungsi ini
c)      Bahwa alat paksaan yang perlu secara jelas dibatasi serta penggunaanya tunduk ada kondisi-kondisi terbatas itu
d)     Organisasi kepegawaian mengikuti prinsip hirarki; artinya pegawai rendahan berada dibawah pengawasan dan mendapat super visi dari seseorang yang lebih tinggi
e)      Peraturan-peraturan yang mengatur prilaku soeorang pegawai dapat merupakan peraturan atau nrma yang bersifat tehnis. Dalam kedua hal itu, kalau penerapannya seluruhnya bersifat rasional, maka (latihan) spesialisasi diharuskan
f)       Dalam tipe rasional hal itu merupakan masalah prinsip bahwa para anggtoa staf  administratif harus sepenuhnya terpisah dari peilikan alat-alat produksi atau administrasi
3.    Dalam hal tipe rasional itu, juga biasanya terjadi bahwa sama sekali tidak ada pemberian posisi kpegawaiannya oleh seseorang yang sedang menduduki suatu jabatan.
4.    Tindakan-tindakan, keputusan-keputusan dan eraturan-peraturan administratif dirumuskan dan secara tertulis
Walaupun suatu organisasi birokrasi bisa memperlihatkan tingkatan rasionalitas dan daya ramal (predictability) yang tinggi, tidak berarti bahwa setiap pegawai dalam organisasi itu akan harus sadar bagaimana semua elemen yang berbeda-beda dalam organisasi itu saling berhubungan untuk membentuk suatu sistem yang rasional. Orientasi subyektif  pegawai itu secara individual adalah konsentrasi pada tugasnya yang khusus, dan mungkin juga hubungan tugas ini dengan tugas-tugas lainnya yang erat kaitannya.

Rasionalitas organisasi birokrasi berhubungan dengan pertimbangan-pertimbangan efisiensi teknis serta daya ramalnya, bukan kebutuhan manusia atau nilai akhir. Dalam beberapa kasus, tujuan organisasi itu secara keseluruhan atau akibat yang tidak langsung dar fungsi rutinnya sangat menghambat terpenuhinya kebutuhan manusia, atau mengganggu nilai-nilai yang terdapat dalam kalangan luas.

Weber mencampurbaurkan perasaan-perasaan dengan dominasi organisasi birokratis yang bertambah besar. Dia tidak melihat efisiensinya yang semakin bertambah itu menghasilkan kebahagiaan manusia yang lebih besar atau membawa kemajuan yang jelas ke suatu bentuk masyarakat yang utopis. Dalam hal ini dia lebih pesimis daripada Marx yang memimpikan suatu masyarakat tanpa kelas.
Dalam mengembangkan dan meningkatkan bentuk organisasi birokratis, orang membangun bagi dirinya suatu “kandang besi” (iron cage) dimana pada suatu saat mereka sadar bahwa mereka tidak bisa keluar lagi dari situ. Proses ini tidak hanya terbatas pada masyarakat kapitalis; juga terjadi dalam masyarakat sosialis. Satu-satunya jalan keluar yang dibayangkan Weber adalah impian kosongnya  bahwa mungkin kelak akan muncul seorang pemimpin kharismatik yang akan membuat dobrakan dari cengkraman mesin birokratis yang tanpa jiwa itu, dan memberi tempat kembali pada perasaan dan cita-cita manusia.
Ø  Birokrasi Rasional
Dalam tipe ideal birokrasi yang rasional yang dikemukakan oleh Weber tersebut jika dikaitkan dalam perpolitikan sekarang tersirat intisari bahwa seorang pejabat politik tidak diperkenankan lebih mementingkan kepentingan individualnya daripada kepentingan umum, sama halnya dalam pilkada, elit birokrasi atau pejabat birokrasi harus bisa netral karena adanya batasan jabatannya.
Menurutnya, Organisasi disebut sebagai sebuah birokrasi, menentukan norma-normanya sendiri yang semuanya harus dilaksanakan. Organisasi mempunyai peraturan dan pengaturan dan juga memberi perintah agar organisasi dapat berfungsi secara efektif dimana semua peraturan harus ditaati (Weber ungkap Etzioni,1985;73).
Pandangan Weber banyak dicurahkan kepada masalah pembagian distribusi kekuasaan antara berbagai posisi organisasi didalam struktur birokrasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Etzioni (1985:3) Weber berhasil menyajikan perspektif baru tentang kepuasan sebagai hasil partisipasi didalam organisasi, bagaimana caranya mengendalikan para partisipan agar efesien dan efektivitasnya dapat ditingkatkan semaksimal mungkin serta sekaligus mengurangi uncertanty(ketidakpastian) yang diakibatkan oleh kebutuhan untuk mengendalikan organisasi birokrasi.  Dengan perkataan lain bahwa organisasi dapat menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk memberi ganjaran kepada mereka yang taat dan sebaliknya memberi hukuman kepada mereka yang membangkang agar struktur organisasi moderen dapat berfungsi secara efektif dan efisien. Lebih lanjut disebutkan Etzioni (1985:73) bahwa sebagai suatu organisasi, struktur tersebut memerlukan wewenang birokrasi.
Konsep tentang struktur birokrasi yang rasional menurut Weber yaitu:
1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan.
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint).
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara tekhnis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan.
5. anggota sebagai sumber daya orgaisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi.
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya.
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai usat organisasi modern.
8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Weber menjelaskan organisasi rasional merupakan antitesa dari pada hubungan khusus, temporal dan yang tidak stabil dengan demikian titik beratnya diartikannya kepada kontinuitas. Peraturan akan menghasilkan suatu penyelesaian baru bagi setiap persoalan dan kasus, peraturan akan mempermudah standarisasi dan banyak kasus diperlakukan secara sama.
Bidang kompetensi khusus; ini menyangkut;
(a)    Suatu bidang kewajiban untuk menjalankan berbagai fungsi yang merupakan pembagian kerja yang sistematis
(b)   Persyaratan bagi para pemegang jabatan dengan wewenang yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi tersebut.
(c)    Bahwa sarana pelaksana sudah ditentukan secara jelas dan penggunanya tunduk pada kondisi tertentu.


Prinsip birokrasi, menurut Max Weber:
  1. Susunan jabatan berdasarkan prinsip hirarki. Dengan perkatan lain setiap jabatan yang tingkatanya lebih rendah selalu berada dibawah pengendalian dan pengawasan tingkat yang lebih tinggi. Dengan cara tersebut tidak ada jabatan yang tidak dikendalikan. Pemenuhannya tidak dapat dilakukan secara kebetulan, pelaksanaannya harus dicek dan diperkuat secara sistematis.
  2. Peraturan yang mengatur tingkah laku sesuatu jabatan dapat berbentuk peraturan dan norma teknis. Peraturan dan norma teknis tersebut, penerapanya benar-benar rasional dan harus didukung oleh latihan khusus. Dengan demikian pada umumnya tepat bila dikatakan bahwa hanya seseorang yang memiliki latar belakang teknis yang memadai dan dipandang cukup cakap.Untuk menduduki jabatan staf administrasi, Weber menyebut akar wewenang birokrat ialah pengetahuan dan latihan yang pernah diterima, penguasaanya dibidang keterampilan teknik dan pengetahuan akan merupakan landasan-landasan legitimasi yang diberikan kepadanya.
  3. Sudah merupakan prinsip bahwa anggota staf administrasi tidak dapat memiliki sarana produksi atau administrasi, selain itu pada prinsipnya terdapat pemisahan antara milik organisasi yang dikendalikan secara resmi dan milik pribadi seorang pejabat. Contoh: penggunaan mobil dinas hanya dapat digunakan untuk kepentingan dinas, sebagai seorang birokrat dalam kepentingan tugas-tugasnya, dan tidak digunakan diluar kepentingan dinas.
  4. Untuk meningkatkan kebebasan organisasi, semua sumber dan organisasi harus bebas dari setiap pengendalian ekstern dan posisi tidak dapat dimonopoli didalam tangan pejabat manapun. Sumber daya harus bebas untuk dialokasikan dan direalokasikan sesuai kebutuhan organisasi. Dalam hal ini pejabat tidak dapat memiliki jabatan resmi secara pribadi.
  5. Tindakan, keputusan dan peraturan administratif harus dirumuskan dan dicatat secara tertulis, Weber menekankan agar norma dan pelaksanaan peraturan harus ditafsirkan secara sistematis dan dokumen itu harus tertulis dan disimpan sebagai sumber pengawasan.
Selain kelima prinsip birokrasi diatas, Weber menjelaskan bahwa:
”para pejabat harus digaji secara resmi dan tidak boleh menerima pembayaran dari klien agar lebih mengutamakan orientasinya kepada organisasi. Norma-norma ini yang berlaku bagi aparat birokrasi serta mempromosikan para pejabat secara sistematis harus dilakukan dan ini berarti menyalurkan hasrat dan ambisi dengan cara menyediakan jabatan karier, memberi ganjaran kepada pejabat yang setia, dengan demikian organisasi akan lebih memperkuat rasa tanggung jawab para pejabat sebagaimana yang disebut Etzioni (1985;78)”.
Menurut Weber sebagaimana yang disebut Thoha (1987;73) teori birokrasi rasional adalah sebuah konsepsi model tipe ideal (ideal type)dari hubungan organisasi rasional. Ia menyebut bila kumpulan mereka itu tidak diatur, kerja mereka bisa acak-acakkan, semrawut, mengacau, tidak rasional dan tidak efisien. Semua yang bernada pemborosan tidak ada aturan dan mubazir dapat diatasi dengan konsep model tipe ideal.
Model tipe ideal ini bertujuan agar dalam organisasi itu tercapai rasionalitas, agar dapat menempung prinsip-prinsip kehidupan manusia yang berorganisasi. Setiap organisasi, apakah itu pemerintahan atau non pemerintahan, fungsinya selalu diatur, sehingga prinsip kepastian dan hal-hal kedinasan harus diatur berdasarkan hukum yang diwujudkan dalam berbagai peraturan. Di dalam konsep Weber, sebagaimana yang disebut Thoha (1987;76) mengenai pengisian jabatan struktural, harus ada aturan yang menjamin kelangsungan pengisian jabatan dengan pedoman yang jelas dan tegas bahwa orang-orang yang mempunyai persyaratan yang ditentukan sajalah yang bisa diangkat dalam jabatan tersebut. Ia mencontohkan pendidikan dan keahlian yang terlatih yang dapat memenuhi syarat sesuai bidang dan spesialisasi dunianya agar urusan yang dipegang dapat berjalan dengan baik dan efisien. Disisi lain penilaian terhadap keberhasilan atau ketaatan dapat dipromosikan sebagai ganjaran dan sebaliknya sanksi hukuman yang tegas tanpa pandang bulu diberlakukan bagi siapa yang melakukan pelanggaran aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh birokrasi.
Teori Weber, sebagaimana yang disebut (Thoha 1987;78) bahwa apa yang ia sebutkan prinsip impersonal dalam organisasi harus ditegakkan oleh birokrasi, yakni hubungan yang memberi kesempatan berbagai aspirasi yang sifatnya pribadi. Weber memperjelas prinsip impersonal itu adalah hubungan belas kasihan, cinta kasih, kasih sayang, kesedihan dan kesenangan, jangan mengintervensi kedalam tata hubungan birokrasi, kalau semuanya itu masuk maka rasionalisasi sudah tidak bermakna lagi.
Ia mempertegas bahwa konsep impersonal yang memasuki birokrasi seperti belas kasihan, cinta kasih, kasih sayang, kesedihan, kesengan, yang keterlaluan intervensinya menjadikan birokrasi berperilaku buruk. Sifat personal itu kalau dituruti maunya akan bersifat irasional dan bernada cenggeng. (Weber dalam Thoha, 1987;78). Kemudian pendapat ini dirangkum oleh Albrow, sebagaimana yang disebut oleh Santoso (1997;18) dengan menyebutkan ada empat ciri utama dari tipe ideal tersebut, yaitu:
i)  adanya suatu struktur hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas kebawah dalam organisasi, ii) adanya serangkaian posisi-posisi jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas, iii) adanya aturan-aturan, regelusi-regulasi dan standar-standar formal yang megatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggota, dan iv) adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
Selanjutnya Bennis, sebagaimana yang disebut Thoha (1987;91) berbeda dengan Weber, bahwa untuk perkembangan pada masa mendatang, bahwa penataan organisasi akan mempunyai sifat-sifatnya yang unik. Struktur organisasi formal akan mengalami perubahan dan penambahan yang bervariasi. Orang tidak lagi hanya memusatkan perhatiannya pada struktur  formal seperti apa yang dikemukakan Weber. Istilah temporer, sementara, relative, jangka pendek dan sejenisnya mulai mewarnai struktur organisasi.
Teori Weber sebagaimana disebut Onghokham (1982:2) menyebut birokrasi adalah alat pemerintahan untuk melaksanakan kebijakannya dalam suatu negara modren disebut birokrasi negara atau aparatur negara seperti lazimnya di Indonesia. Sifat birokrasi sebagai mesin (rasional/impersonal), tanpa ciri subjektif (personal) apapun. Ini adalah birokrasi ideal, karena sifatnya bagaikan mesin itulah yang menjadikan ia efektif di masyarakat. Mekanisme didalamnya diatur dengan undang-undang, yang juga berjalan secara otomatis tanpa pandang bulu. Promosi, rekruitering (penerimaan dalam birokrasi tersebut) diatur dan gaji atau sumber penghasilan pribadi terpisah dengan jabatan para anggota birokrasi. Fungsi-fungsi (sifat yang menyolok dari birokrasi modern) khususnya hirarki atasan dan bawahan dan lain-lain diatur dengan undang-undang. Negara menyerahkan kekuasaan kepada birokrasi untuk memerintah masyarakat sebagai aparat negara.
Keuangan untuk keperluan kantor berbeda dengan gaji pegawai. Bila perlu ada dana-dana istimewa untuk menjamin kejujuran anggota birokrasi tersebut seperti dana politik, dana resepsi, dan lain-lain yang diatur lagi oleh undang-undang. Terhadap hal ini,  Weber sebagaimana yang disebut Onghokham (1982;9) menguraikan bahwa:
”Kalau birokrasi tidak dibiayai cukup untuk kebutuhanya, karena kekuasaanya ia akan memungut secara liar dari masyarakat apa yang tidak diperolehnya secara legal. Birokrasi negara ini demikian efektif sehingga dalam keadaan negara mengganti kabinet, birokrasi tetap menjalankan roda pemerintahan dan tidak menggangu kepentingan umum. Birokrasi dapat dipakai rezim demokratis, fasis dan diktator. Contoh seperti ini dapat dilihat di Italia dan Prancis dan di negara Eropa selama Perang Dunia II”
Ø  Birokrasi Patrimonial.
Terminologi patrimonial adalah konsep  antropologi yang secara nominatif berasal kata dari patir dan secara genetif berasal ari katapatris yang berarti Bapak. Konsep yang dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih luas yakni menjadi warisan dari bapak atau nenek moyang.
Disamping birokrasi rasional yang dipelopori oleh Max Weber. Schrool (1980:167) yakni seorang pakar modernisasi dunia berkembang  membedakan jenis birokrasi menjadi birokrasi modern dengan patrimonial. Jika pada birokrasi rasional lebih menitikberatkan pada unsur prestasi, maka  pada birokrasi patrimonial justru sebaliknya, yakni menekankan pada ikatan-ikatan patrimonial (patrimonial ties) yang menganggap serta menggunakan administrasi sebagai urusan pribadi dan kelompok. Secara lebih tegas, Weber sebagaimana yang dikemukakan oleh Santoso (1997:22) menegaskan bahwa dalam birokrasi patrimonial, individu-individu dan golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan kekuasaanya.  Selain itu, ciri daripada birokrasi patrimonial disebutkan bahwa:
i). Pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik, ii) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan, iii) pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi, iv) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Tujuan-tujuan pribadi penguasa merupakan hal yang pokok dalam sepak terjang pemerintahan kendatipun mereka dibatasi oleh fungsi-fungsi sebagai seorang pemimpim.”(Weber dalam santoso, 1997:23).
Ø  Budaya Birokrasi
Uraian diatas telah mencoba menjelaskan dua perspektif birokrasi yakni birokrasi rasional-modern yang dikembangkan oleh Max Weber sebagai kontra  terhadap birokrasi patrimonial.
Bila birokrasi rasional yang dikembangkan oleh Weber adalah tipe ideal, bebas dari impersonal, objektif dan keutamaan terhadap prestasi (pendidikan dan latihan) dan banyak diterapkan di negara-negara maju. Selanjutnya, birokrasi patrmonial adalah keutamaan terhadap ikatan-ikatan primordial (primordial ties) seperti agama, suku, klan, teritori, subjektif, kurang mengindahkan prestasi dan banyak ditemukan di negara-negara dunia berkembang seperti bangsa Indonesia.
Sistem seperti ini banyak terjadi pada birokrasi kerajaan patrimonial yang secara rinci dapat ditemukan dalam birokrasi kerajaan Jawa sejak Majapahit hingga abad ke-20 pada kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Budaya birokrasi sebagai abdi dalem ini tentu saja sangat membekas dalam sistem nilai dan sistem pengetahuan masyarakat (knowledge and value of sisyem) sehingga sekalipun perubahan-perubahan sudah terjadi dapat saja budaya itu masih sangat melekat.
Masa Pulau Jawa bersentuhan dengan kolonialisme terutama setelah Diponegoro ditaklukkan pada tahun 1830, maka pemerintah Belanda mengganti peran abdi dalem menjadi priyayi yakni ambtenaar, yaitu orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial dengan mendapatkan gaji dan memiliki kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Berbeda dengan abdi dalem yang diangkat berdasarkan kemurahan raja, maka priyayi diangkat berdasarkan rasional. Mereka ini lebih menekankan kemajuan dan kebaharuan yang berbeda denganabdi dalem yang cenderung konservatif dan klasik. Para priyayi yang lebih banyak berhubungan dengan pemerintah kolonial membuat mereka mengadopsi gaya hidup barat dan mengadaptasikan ketimuran mereka pada budaya yang didominasi oleh kognisi, etika dan estetika barat. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Belanda sebagai simbol kebanggaan. Mereka dengan senang mengikuti model busana, bujana dan tegur sapa Belanda. Demikian pula dalam memanfaatkan waktu luang mereka.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa, apa yang diketahui tentang sejarah priyayi ialah kesenderungan mereka untuk mengabdi dan menundukkan diri sebagai bagian dari  kekuasaan kolonial sama sepertiabdi dalem yang meleburkan dirinya menjadi bagian dari penguasa kerajaan. Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo (1991: 332) Indonesia sebenarnya tidak punya tradisi birokrasi yang lebih mengidentifikasikan diri sebagai sebuah pelayan sosial. Oleh karena itu, pasca Indonesia merdeka, negara membangun birokrasi baru yang dikenal dengan pegawai negeri.
Kekuasaan pegawai negeri sebenarnya sangat luas, tetapi pegawai negeri gagal menjadi kelas sosial yang eksklusif karena ada penurunan kemakmuran disatu pihak dan penambahan jumlah dipihak lain. Kecuali dengan rata-rata petani, pegawai negeri masih kalah makmur jika dibandingkan dengan sektor non pegawai negeri ataupun petani. Yang menarik dalam gejala birokrasi sekarang ialah keterlibatan pegawai negeri dalam politik praktis secara formal, suatu gejala yang tidak pernah ada di masa lalu. Gejala lainnya adalah idiologisasi yakni dengan penataran-penataran kesadaran politik. Tentu saja idiologisasi itu penting terutama untuk menumbuhkan semangat nasional, tetapi jika idiologisasi tersebut menggantikan cara berfikir analitis, tentu tidak banyak bermanfaat pada pengembangan birokrasi sebagai pelayan. Disamping itu, gejala lainnya adalah ritualisasi yakni dengan adanya baju seragam, upacara-upacara, sumpah-sumpah, yang mirip denganabdi dalem. Ritualisasi tersebut tentu saja tidak sia-sia, tetapi dikhawatirkan akan kehilangan etos kepelayanan dan yang tersisa adalah etos kekuasaan.(Kuntowijoyo, 1991:334).


Menurut David Beetham (1975), Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya. Pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat pada penerapan fungsi sebagai instrumen fungsi tersebut. Ketiga, pengembangan dari sikap ini karena birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok partikular. Dengan demikian birokrasi dapat keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari klas sosial yang partikuler tersebut.
Elemen kedua dan ketiga dari birokrasi Weber diatas, mengandung pandangan Weber terhadap peranan politik dalam birokrasi. Ada faktor yang bisa mempengaruhi proses tipe ideal birokrasi. Kehidupan birokrasi tampaknya sudah diperhitungkan tidak mungkin bisa dipisahkan dari politik.

Adakah alternatif lain? Birokrasi adalah salah satu dari struktur-struktur rasional yang memainkan peran yang kian penting di dalam masyarakat modern , tetapi orang mungkin bertanya-tanya apakah ada alternatif untuk struktur birokratis. Jawaban Weber yang jelas dan tegas ialah tidak ada alternatif yang mungkin: “Kebutuhan-kebutuhan administrasi massa membuat birokrasi di masa kini benar-benar sangat diperlukan. Pilihanya hanya diantara birokrasi dan kinerja amatir (dilettantiasm) di bidang administrasi”.
Meskipun kita dapat mengakui bahwa birokrasi adalah bagian intrinsik kapitalisme modern, kita dapat bertanya apakah masyarakat sosialis mungkin berbeda. Mungkinkah menciptakan suatu masyarakat sosialis tanpa birokrasi dan birokrat? Sekali lagi, Weber menjawab dengan tegas “ bila orang-orang yang tunduk kepada birokratis berusaha mlepaskan diri dari pengaruh para aparat birokratis yang ada, normalnya hal itu yang hanya mungkin dengan menciptakan suatu organisasi sendiri yang sama tunduknya kepada proses birokratis”. Sesungguhnya weber percaya bahwa dalam kasus sosialisme, kita malah akan melihat suatu pertambhan, bukan pengurangan, birokratisasi. Jika sosialisme mencapi suatu tingkat efisiensi yang sebanding dengan kapitalisme, “itu berarti pertambahan yang luar biasa dalam pentingnya birokrat profesional”.
Dalam kapitalisme paling tidak para pemilik bukan birokrat sehingga mereka akan mampu mengendalikan para birokrat, tetapi dalam sosialisme, para pemimpin level puncakpun adalah para birokrat. Oleh karena itu, Weber percaya bahwa segala masalahnya “kapitalisme memberika keasempatan-kesempatan terbaik untuk pelestarian kebebasan individu dan kepemimpinan kreatif dalam suatu dunia birokratis”.
Sekali lagi kita memasuki tema utama dalam karya Weber” pandanganya bahwa tidak ada sama sekali harapan untuk dunia yang lebih baik. Dalam pandangan Weber, para sosialis hanya akan memperburuk keadaan dengan memperluas derajat birokrasi di dalam masyarakat. Weber mencatat: “yang ada dihadapan kita bukanlah musim panas,tetapi malam kutub dengan kegelapandan kesukaran akibat es, tidak soal kelompok mana yang sekarang menang secara eksternal”.

Adakah Harapan? Secercah cahaya harapan di dalam karya Weber -an cahaya yang kecil ialah bahwa para profesional yang berada di luar sistem birokratik dapat mengendalikannya sampai batas tertentu. Di dalam kategori itu, Weber memasukan para politisi profesional, ilmuwan, intelektual dan bahkan kaum kapitalis serta kepala tertinggi birokrasi. Conothnya, Weber mengatakan bahwa para politisi seperti “harus menjadi kekuatan yang menandingi dominasi birokratis”. Esainya yang terkenal “Politik sebagai Panggilan” (“Politics as a Vocation”) pada dasarnya suatu permohonan untuk pengembangan para pemimpin politis dengan seruan untuk melawan kekuasaan birokrasi dan para birokrat. Akan tetapi, pada akhirnya hal itu tampak sebagai harapan yang agak lemah. Sesungguhnya, dapat diajukan alasan yang baik bahwa profesional itu hanyalah aspek lain dari proses rasionalisasi dan bahwa pengembangan mereka hanya bertindak menpercepat proses itu.

Dalam karya Weber “Gereja’ dan ‘Sekte’ di Amerika Utara: Suatu sketsa Sosio-Politis Gerejawi” (1906/1985), Colin Loader dan Jeffrey Alexander (1985) melihat pratanda pemikiran Weber akan diharapkan yang di berikan oleh etika tanggung jawab dalam menghadapi perluasan birokrasi. Sekte-Sekte Amerika seperti praktik kaum Quaker, mempraktikan suatu etika tanggung jawab dengan menggabungkan rasionalitas dan nilai-nilai yang lebih besar. Rogers Brubaker mendefinisikan etika tanggung jawab sebagai “komitmen yang memihak kepada nilai-nilai fundamental dengan analisis yang tidak memihak kepada alat-alat alternatif yang mengejarnya”. Dia mempertentangkan hal itu dengan etika keyakinan, yaitu suatu pilihan rasional atas alat-alat sudah ditetapkan dan aktor mengorientasikan  “tindakannya kepada ralisasi suatu nilai absolut atau tuntutan tidak bersyarat”. 

Etika keyakinan sering mencangkup penarikan diri dari dunia rasional,sementara etika tanggung jawabmelibatkan suatu perjuangan di dalam dunia untuk mencapai kemanusiaan yang lebih besar. Etika tanggung jawab setidaknya memberikan setitik harapan dalam menghadapi serangan gencar rasionalisasi dan birokratisasi.

C. Cara Pelaksanaan Birokrasi Ideal Rasional Max Weber Secara Singkat
Dalam bukunya, Miftah Toha menyatakan bahwa  birokrasi ideal yang rasional Weber singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.      Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2.      Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3.      Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.
4.      Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
5.      Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6.      Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu.
7.      Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.
8.      Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9.      Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.(Weber, 1978 dan Albrow, 1970)






TEORI MANAJEMEN ILMIAH 
(FREDERICK W. TAYLOR)





Frederick W. Taylor (1856-1915) adalah seorang insinyur mekanik asal Amerika Serikat yang terkenal atas usahanya meningkatkan efisiensi industri. Ia dikenal sebagai bapak manajemen ilmiah dan merupakan pemimpin intelektual dari gerakan efisiensi.
Beliau menyatakan bahwa manajemen ilmiah merupakan penerapan metode ilmiah pada studi, analisis dan pemecahan masalah dalam organisasi. Taylor menerapkan cara-cara ilmu pengetahuan dalam memecahkan masalah di perusahaan. Dari hasil penelitian dan analisanya ditetapkan beberapa prinsip yang menggantikan prinsip lama yaitu prinsip coba-coba atau yang lebih dikenal dengan sebutan trial and error.
Manajemen ini merupakan usaha untuk meningkatkan produktifitas para buruh. Dia berpendapat bahwa pemborosan sering terjadi dalam kegiatan produksi karena para pekerja banyak membuang waktu yang tidak sedikit akibat kinerja yang tidak efesien. Taylor juga merupakan seorang manajer dan penasihat perusahaan.
James A.F. Stoner dalam buku manajemen (1995:34) mengatakan bahwa Frederick W. taylor mendasarkan filosofinya dalam empat prinsip untuk mencapai efisiensi sebagai berikut :
1.    Pengembangan manajemen Ilmiah sebenarnya, jadi setiap metode terbaik untuk melaksanakan setiap tugas dapat ditentukan.
2.    Seleksi ilmiah para pekerja, sehingga para pekerja akan diberi tanggung jawab yang paling cocok dengan kemampuanya.
3.    Pendidikan dan pengembangan karyawan secara ilmiah.
4.    Kerjasama yang baik antar manajemen dan tenaga manajemen.
Taylor berpendapat bahwa untuk dapat sukses dengan prinsip ini memerlukan ‘revolusi mental yang lengkap” pada pihak manajemen dan tenaga kerja. Kdeua belah pihak jangan bertengkar mengenai lab, melainkan berusaha meningkatkan produksi. Dengan demikian dia percaya bahwa laba akan naik sampai mencapai titik yang menyebabkan tenaga kerja dan manajemen tidak perlu lagi berjuang untuk itu. Singkatnya Taylor percaya bahwa manajemen dan tenaga kerja memiliki kepentingan bersama dalam meningkatkan produktivitas.
Taylor mendasarkan sistem manajemen pada studi waktu lini produksi. Bukanya mendasarkan pada metode kerja tradisional. Dia menganalisis danmengukur waktu gerakan pekerja baja dari satu seri pekerjaan. Menggunakan studi waktu sebagai dasarnya, dia memecah setiap pekerjaanmenjadi komponen-komponennya dan mendesain metode tercepat dan paling baik untuk melaksanakan setiap komponen. Dengan cara ini dia menetapkan berapa banyak seorang pekerja harus mampu mengerjakan dengan peralatan dan material yang ada ditangan. Dia juga mendorong para majikan untuk membayar pekerja yang lebih produkstif dengan upah yang lebih tinggi dari pada yang lain, menggunakan tarif “yang tepat secara ilmiah” yang akan menguntungkan perusahaan maupun pekerja. Jadi para pekerja didorong untuk melewati standar prestasi kerjanya yang terdahulu untuk memperoleh upah yang lebih tinggi.
Menurut Taylor:
•Manajemen dan tenaga kerja mempunyai kepentingan bersama dalam meningkatkan produktivitas
•Menggunakan studi gerak dan waktu (time dan motion study)
•Penentuan upah per potong (differential rate system) atau sistem tarif berbeda.

Kontribusi teori manajemen ilmiah
Dalam perjalanannya perusahaan yang dijalankan oleh Taylor menghasilkan produk yang lebih cepat dari pada yang pernah dibayangkan oleh Taylor. “keajaiban” produksi ini hanya salah satu warisan dari manajemen ilmiah. Sebagai tambahan, bahwa teknik manajemen efesiensi ini telah diterapkan pada berbagai tugas dalam organisasi non industri, jasa makan siap sajisampai pelatihan untuk doklter bedah.
Keterbatasan teori manajemen ilmiah
James A.F. Stoner dalam buku manajemen (1995:34) mengatakan bahwa walaupun Taylor menyebabkan kenaikan dramatik dalam produktivitas dan upah yang lebih tinggi dalam sejumlah kasus, para peklerja dan serikat pekerja mulai menentang pendekatan taylor karena mereka takut bekerja lebih berat dan lebih cepat akan membuat lelah pekerjaan apapun, yang menyebabkan pekerja yang bersangkutan dirumahkan.
Lebih lanjut, sistem Taylor jelas berarti bahwa waktu amat penting. Para pengkritiknya menolak kondisi “mempercepat” yang diterapkan dengan tekanan secara berlebihan pada pekerja untuk berprestasi semakin lama semakin cepat. Penekanan pada produktivitas dan kalau diperluas, kemampuan menghasilkan laba membuat beberapa orang manajer mengeksploitasi perkeja dan pelanggan. Sebagai hasilnya, lebih banyak yang pekerja bergadbung dengan serikat pekerja dan dengan demikian memperkuat pola kecurigaan dan tidak mempercayai yang membayangi hubungan tenaga kerja-manajemen selama beberapa dekade.



TEORI MANAJEMEN ADMINISTRATIF
(GULLICK & URWICK)








Lyndall Fownes Urwick adalah salah satu murid Fayol yang sangat rajin dan menulis buku komprehensif tentang pengetahuan manajemen dengan judul The Element of Administration. Bersama Gullick, Urwick menghasilkan karya yang berjudul Papers on The Science of Administration. Gullick dan Urwick mengatakan bahwa fungsi-fungsi utama administrasi dan manajemen adalah planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), staffing (pengadaan tenaga kerja), directing (pemberian bimbingan), coordinating (pengkoordinasian), reporting (pelaporan), dan budgeting (penganggaran). Satu hal yang berbeda dengan konsep Gullick adalah penggantian controlling dengan budgeting  
Fungsi budgeting (penganggaran) sendiri merupakan perluasan dari fungsi planning dalam hal perencanaan biaya (Manullang, 1988). Secara rinci Budgeting (penganggaran), berarti pengikhtisaran sistem rencana anggaran keuangan, baik sistem keuangan dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Rangkaian fungsi dari Gullick dan Urwick ini dikenal dengan akronim POSDCoRB.

  Fungsi Manajemen menurut Lyndall  F.  Urwick  terdiri dari :
a.         Staffing (Penyusunan).
Staffing adalah salah satu fungsi manajemen berupa penyampaian perkembangan atau hasil kegiatan atau pemberian keterangan mengenai segala hal yang berkaitan dengan tugas dan fungsi-fungsi kepada pejabat yang lebih tinggi.
b.        Planning (Perencanaan).
Berbagai batasan tentang planning dari yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat rumit. Misalnya yang sederhana saja merumuskan bahwa perencanaan adalah penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Pembatasan yang terakhir merumuskan perencaan merupakan penetapan jawaban kepada enam pertanyaan berikut :
1)         Tindakan apa yang harus dikerjakan ?
2)         Apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan ?
3)         Di manakah tindakan itu harus dikerjakan ?
4)         Kapankah tindakan itu harus dikerjakan ?
5)         Siapakah yang akan mengerjakan tindakan itu ?
6)         Bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu ?
c.         Organizing (Pengorganisasian).
Organizing atau  pengororganisasian adalah kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran spesifik atau sejumlah sasaran.
d.        Controlling (Pengawasan).
Controlling atau pengawasan, sering juga disebut pengendalian adalah salah satu fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud dengan tujuan yang telah digariskan semula.
e.         Directing (Pengarahan).
Directing atau Commanding adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan usaha memberi bimbingan, saran, perintah-perintah atau instruksi kepada bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing, agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan benar-benar tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan semula.
f.          Coordinating (Kordinasi).
Coordinating atau pengkoordinasian merupakan salah satu fungsi manajemen untuk melakukan berbagai kegiatan agar tidak terjadi kekacauan, percekcokan, kekosongan kegiatan, dengan jalan menghubungkan, menyatukan dan menyelaraskan pekerjaan bawahan sehingga terdapat kerja sama yang terarah dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
           



ADMINISTRASI UMUM
(HANRY FAYOL)



Henri Fayol adalah seorang teoris manajemen atau administrasi yang lahir di Istanbul 1841. Fayol adalah salah satu kontributor paling berpengaruh dalam konsep manajemen atau ilmu administrasi modern.
Henri Fayol juga memberikan 3 Sumbangan Besar Pemikiran tentang Administrasi dan manajemen;
1. Aktivitas Organisasi
2. Fungsi dan Tugas
3. Prinsip - Prinsip Administrasi dan Manajemen
Peninggalan Fayol yang paling terkenal adalah tentang lima fungsi utama manajemen, yaitu ;
1. Perencanaan
2. Pengorganisasian
3. Pemberian Perintah
4. Pengkoordinasian
5. Pengontrolan
Fayol terkenal akan 14 Prinsip Manajemennya. Prinsip - prinsip manajemen adalah dasar - dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen. Prinsip umum Manajemen menurut Henri Fayol terdiri dari ;
1. Pembagian Kerja
2. Wewenang dan Tanggung Jawab
3. Disiplin
4. Kesatuan Perintah
5. Kesatuan Pengarahan
6. Mengutamakan Kepentingan Organisasi
7. Penggajian Pegawai
8. Pemusatan
9. Hirarki
10. Ketertiban
11. Keadilan dan Kejujuran
12. Stabilitas Kondisi Karyawan
13. Inisiatif
14. Semangat Kesatuan


Manfaat penggunaan 14 prinsip manajemen terhadap perusahaan yaitu :
1. Adanya perubahan dan organisasi,
2. Digunakan sebagai pengambilan keputusan,
3. Keterampilan dapat digunakan untuk meingkatkna efektivitas dasar manajer,
4. Memahami bahwa manajemen dapat dilihat sebagai berbagai kegiatan yang dapat terdaftar dan dikelompokkan.


B. NEO KLASIK
HUMAN RELATION (HUBUNGAN MANUSIAWI)
MENURUT ELTON MAYO


Elton Mayo dilahirkan di Adelaide tahun (1880-1949), ibukota Australia selatan. Ia terkenal dengan eksperimen tentang perilaku manusia dalam situasi kerja. Eksperimen ini disimpulkan bahwa perhatian khusus dapat menyebabkan seseorang meningkatkan usahanya. " Gejala ini disebut Hawrthorne effect yaitu karyawan akan lebih giat bekerja jika mereka yakin bahwa manajemen memikirkan kesejahteraan mereka.
Hasil percobaan Mayo dengan Roethlisberger dan Dickson ialah rangsangan uang tidak menyebabkan membaiknya produktivitas. Yang justru mempu meningkatkan produktivitas itu adalah satu sikap yang dimiliki karyawan yang merasa manajer dan atasanya memberikan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan mereka. Selain itu juga ditemukan pengaruh kehidupan lingkungan sosial dalam kelompok yang lebih informal lebih besar pengaruh nya terhadap produktivitas.
Karena itu, Mayo yakin terhadap konsepsinya yang terkenal dengan yang dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan sosial dalam hubungan-hubungan yang lebih efektif dari pada pengawasan dan pengendalian manajemen dalam arti konsep "social man”(manusia sosial/manusia dapat dimotivasi dengan pemenuhan kebutuhan sosial melalui hubungan kerja), dapat menggantikan konsep “rational man”(manusia rasional/manusia hanya dapat di motivasi dengan pemenuhan kebutuhan ekonomis). Konsep rational man yang di dorong semata-mata oleh kebutuhan ekonomis pribadi yang terkenal dengan julukan rational "economic man”.
Istilah terkenal yang tadinya diutarakan oleh Robert Owen yaitu “vital machines” menemukan bentuk dan peluang barunya dengan munculnya konsep “social man” dari Mayo. Dalam pen-didikan dan latihan bagi para manajer terasa semakin pentingnya “people management skills” dari pada “engineering atau technical skills”. Konsep dinamika kelompok semakin penting dalam praktek manajemen dari pada manajemen atas dasar kemampuan pekerja secara perseorangan.
Dia berpendapat bahwa partai politik membuat konflik buatan, telah memecah belah dan itu tidak bisa dihindari serta tidak bisa membuat keharmonisan sosial dan tidak juga otonomi. Agar demokrasi lebih bersifat membangun dari pada merusak, dibutuhkan pendidikan politik dan kepemimpinan yang bagus, sehingga pikiran rasional dan pemahaman akan menggantikan ketidak rasionalan dan prasangka.
Mayo mengamati bahwa masyarakat adalah system kerjasama, masyarakat yang beradab adalah salah satu tanda bahwa kerjasama itu berdasarkan pada pemahaman atau pengertian dan keinginan untuk bekerja bersama-sama. Mayo melukiskan tempat kerja sebagai fokus identitas individu dan kunci untuk kepaduan sosial.
Mayo telah memperoleh kesempatan untuk mengubah teori jadi praktek ketika dia diundang untuk menginvestigasi pergantian pekerja di tempat pemintalan. Dia menemukan, meski kondisi atau situasi kerja di tempat itu sangat menyedihkan, mereka tidak lebih baik daripada devisi lain dan oleh karena itu tidak menjelaskan perbedaan sangat besar dalam pergolakan. 
Mayo menyatakan bahwa masalah tersebut berasal dari sesuatu yang janggal, bahwa para pemintal dipaksa untuk terus bekerja dan kelelahan fisik mempengaruhi keadaan mental mereka sehingga rasa pesimis membuat produktivitas menurun.
Pemecahan yang ditawarkan cukup sederhana, yaitu dengan memberlakukan masa istirahat untuk mengurangi tingkat kelelahan dan memungkinkan para pekerja mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan.
Mayo sukses mengurangi pergolakan pekerja dan menaikan produktivitas sehingga membuat Ruml memberikan rekomendasi untuk penelitian Mayo 3 tahun kedepan.



ADMINISTRATIVE BEHAVIOUR (PERILAKU ADMINISTRASI)
HERBERT ALEXANDER SIMON

Herbert Alexander Simon  lahir di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat pada tanggal 15 Juni 1916. Ayahnya, Arthur Simon (1881-1948), adalah seorang insinyur listrik yang datang ke Amerika Serikat dari Jerman pada tahun 1903 setelah mendapatkan gelar insinyur dari Technische Hochschule dari Darmstadt. Arthur, seorang penemu yang diberikan "beberapa selusin paten ", juga merupakan pengacara hak paten yang independen.
Teori Perilaku Administrasi (Administrative Behavior) merupakan isi karya Herbert Alexander Simon. Buku tersebut adalah disertasi doctoral Herber Simon yang ditulisnya pada tahun 1947. Disertasi ini merupakan buku pertama Herber Simon. Inti dari buku tersebut proses perilaku dan kognitif membuat pilihan manusia menjadi rasional dalam membuat keputusan-keputusan.  Sebuah keputusan administrasi harus benar dan efisien serta praktis. Keputusan melibatkan pilihan yang dipilih  dari sejumlah alternatif yang diarahkan pada tujuan ahir dari organisasi. Pilihan-pilihan realistis akan memiliki konsekuensi nyata yang terdiri atas tindakan personil dan non-tindakan yang dimodifikasi oleh fakta-fakata  lingkungan dan nilai-nilai.
            Menurut Herbert Simon, keputusan dapat diukur dengan dua kriteria;
  1. Kecukupan mencapai tujuan yang diinginkan
  2. Efisiensi yang hasilnya diperoleh. Banyak anggota organisasi dapat focus pada kecukupan, tetapi manajemen administrasi  secara keseluruhan harus  memiliki perhatian khusus pada efisiensi dengan hasil yang ingin diperoleh.
Simon menggambarkan hubungan antara pengambilan keputusan yang efektif dan administrasi organisasi. Simon mencatat bahwa administrator tidak menyelesaikan apa-apa dibandingkan operator di lapangan. Sebaliknya, mereka mempengaruhi pencapaian tujuan melalui keputusan mereka.
Simon memberikan gambaran masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh teori administrasi. Sebuah masalah utama adalah kontras antara spesialisasi dan kesatuan perintah Selanjutnya Simon menggambarkan konflik yang muncul dengan gagasan klasik dari rentang kendali  yang terbatas. Ia mencatat bahwa rentang kendali berbanding terbalik secara proporsional dengan jumlah birokrasi dalam sebuah organisasi.
Beberapa prinsip administrasi yang diakui: (1) efisiensi administrasi ditingkatkan melalui spesialisasi, (2) efisiensi ditingkatkan dengan membagi anggota kelompok dalam suatu hirarki wewenang yang pasti, (3) efisiensi administrasi ditingkatkan dengan mempersempit rentang kendali, dan (4) efisiensi ditingkatkan dengan pengelompokan pekerjaan dan maksud pengawasan berdasarkan tujuan, proses, pelanggan, atau tempat.
Selanjutnya ia mengkaji fakta dan nilai dalam pengambilan keputusan. Pembatasan Simon jelas antara keduanya. Fakta yang dapat diuji proposisi, di mana sebagai pernyataan etis mungkin timbul dari dalam organisasi, dan melibatkan kata-kata seperti “harus” atau “seharusnya.” Selain itu, keputusan ada yang mengandung faktual dan komponen etika, sehingga keputusan tidak dapat dievaluasi sebagai “benar” atau “salah.” Mereka hanya bisa dinilai oleh pencapaian tujuan, atau “nilai-nilai.” Hal ini tampak jelas perbedaannya antara organisasi public dan swasta.
Simon mengajukan gagasan mempertimbangkan rasionalitas dalam perilaku administratif. Idealnya, Simon menunjukkan bahwa semua pengambilan keputusan akan mengikuti proses seperti mata rantai. Namun, sistem nyata jarang sesederhana ini, dan orang tidak selalu berakhir dengan mempertimbangkan perilaku alternatif. Waktu, pengetahuan, dan kelompok mempengaruhi perilaku. Rasionalitas secara kasar didefinisikan sebagai perhatian atau keberpihakan pada pemilihan perilaku tertentu dari suatu system nilai yang dapat dievaluasi.
Ia menyatakan psikologi berkaitan dengan keputusan administrasi. Dia mencatat bahwa pengambilan keputusan banyak tidak rasional, untuk rasionalitas memerlukan pemahaman yang lengkap dan semua konsekuensi dari sebuah keputusan. Selain itu, konsep-konsep seperti kepatuhan, memori, kebiasaan, peran rangsangan positif, dan mekanisme ketekunan perilaku juga mempengaruhi pengambilan keputusan.
Selanjutya penerima nobel ekonomi ini membahas keseimbangan organisasi. Simon berpendapat bahwa stimulus tertentu menentukan lebih lanjut tujuan organisasi. Keputusan yang tepat tergantung pada para pihak terkait (pemasok, pelanggan, atasan, atau penyelenggara) dan organisasi itu sendiri (profit, layanan, pemerintah). Tipe partisipasi anggota dapat dipengaruhi oleh jenis organisasi, adaptasi anggota terhadap tujuan, loyalitas terhadap tujuan, insentif yang diberikan, serta nilai-nilai dari ukuran dan pertumbuhan organisasi. Pada akhirnya akan terjadi keseimbangan organisasi dan efisiensi di dalam organisasi komersial dan pemeritah berdasarkan hal-hal tersebut.
Yang harus dipertimbangkan juga adalah peran komunikasi dalam keputusan pemerintahan. Dia mencatat bahwa komunikasi dapat terjadi secara formal maupun informal dari atas, bawah, atau kesamping dalam hierarki pemerintahan. Herbert menyimpulkan dengan suatu diskusi mengenai hubungan komunikasi dan motivasi pribadi dan penerimaan komunikasi (Siapa yang mengirimkan informasi kepada saya? Apakah efek dari informasi mengenai posisi saya?). Komunikasi formal disampaikan melalui media lisan , memorandum, surat, catatan, laporan, dan manual. Komunikasi informal adalah membangun hubungan sosial di sekitar anggota organisasi. Ditekankan juga pentingnya trainng sebagai media meningkatkan komunikasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Simon nilai organisasi: persepsi tentang kata “nilai sosial”, konflik, impersonalitas dalam keputusan organisasi, makna identifikasi, psikologi identifikasi, identifikasi dan kecukupan. Merombak identifikasi juga dapat dilakukan melalui organisasi melalui modus spesialisasi, alokasi fungsi pengambilan keputusan, dan tipe-tipe psikologi dalam keputusan.
Simon meneliti dan mencatat bahwa perencanaan adalah perintah yang kompleks, karena berasal dari superordinate yang melatih otoritasnya agar berpengaruh pada perilaku bawahannya. Tingkat pengaruh tercermin dalam keputusan satu orang yang mengasai setiap aspek perilaku orang-orang lain. Biasanya pegaruh hanya memberi keleluasaan pada apa yang dikerjakan bukan pada bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Apabila keterbatan tersebut disadari, mestinya lebih dari satu perintah dapat menentukan satu keputusan tertentu dengan syarat tidak boleh ada dua perintah yang menjangkau premis yang sama.
Kemudian dijelaskan juga rencana dan peninjauan dalam proses pengambilan keputusan terpadu yang meliputi dua teknik. Yang pertama adalah pada perencanaan para spesialis diarahkan pada suatu masalah sebelum dibuat keputusan dan yang kedua peninjauan dimana individu yang ditunjuk mempertanggung-jawabkan dan membrikan alasan-alasan internal maupun eksternal atas keputusan tersebut. Sentralisasi dan desentralisasi menjadi isu yang menarik perhatiannya. Pada hemat Simon sentralisasi tidak dapat dihindari untuk menjamin diperolehnya keuntungan-keuntungan pengorganisasian koordinasi, keahlian dan tanggung jawab. Sebaliknya biaya sentralisasi tidak boleh dilupakan. Pelajaran dari teori administrasi yang dapat dipetik adalah kenyataan luasnya wilayah rasionalitas, rasionalitas individu dan kelompok, dan pentingnya lokasi organisasi.
Sekolah bisnis mendasari kegiatannya dengan asumsi bahwa peserta didiknya adalah para praktisi professional di berbagai bidang usaha atau peneliti dalam sekolah professional yang mengembangkan pengetahuannya pada bidang professional praktis. Hendaknya dibedakan pengetahuan sebagai disiplin ilmu dan pengetahuan professional (liberal atau utilitarian knowledge). Sumber pengetahuan dasar dapat diperoleh dari dunia bisnis, sehingga perlu seorang pengajar mempunyai pengalaman bisnis atau pengalaman konsultansi serta riset terapan. Namun demikian sumber pengetahuan juga berasal dari ilmu (science) atau upaya sintesa di antara keduanya seperti mencampurkan air dengan minyak.
Secara ringkas Simon menjelaskan bahwa banyak keputusan dibuat dengan mengabaikan aspek rasionalitas yang banyak diperhatikan pada dunia ekonomi berbeda dengan rasionalitas di administrasi publik yang disebutnya sebagai rasional terbatas (bounded rationality). Pengambilan keputusan dengan rasionalitas yang terbatas ini terjadi karena keterbatasan dalam memperoleh informasi yang valid dan sifat yang kompleks dari informasi itu sendiri.

           

 C. MODERN

PUBLIC POLICY (KEBIJAKAN PUBLIK)
MENURUT THOMAS R DYE

Thomas R. Dye, mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever governments choose to do or not to do”. Kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan. Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan”  dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Disamping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh ( dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu).
            Studi kebijakan publik meurut Thomas R Dye, sebagaimana dikutip Sholicin Abdul Wahab (Suharno: 2010: 14) sebagai berikut:
“Studi kebijakan publik mencakup menggambarkan upaya kebijakan publik, penilaian mengenai dampak dari kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik, analisis mengenai akibat berbagai berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap kebijakan publik: penelitian mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan (direncanakan) maupun dampak yang tidak diharapkan.”
            Sholichin Abdul Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 16-19) dengan mengikuti pendapat dari Anderson(1978) dan Dye (1978) menyebutkan beberapa alasan mengapa kebijakan publik penting atau urgen untuk dipelajari, yaitu:
a.)    Alasan Ilmiah
Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal-mulanya, proses perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai variable terikat (dependent variable) maupun sebagai variabel independen (independent Variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu menentukan substansi kebijakan atau diduga mempengaruhi isi kebijakan publik. Kebijakan dipandang sebagai variabel independen jika vokus perhatian tertuju pada dampak kebijakan tertuju pada sistem politik dan lingkungan yang berpengaruh terhadap kebijakan publik.

b.)    Alasan Professional
Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari.

c.)    Alasan politik
Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.





PUBLIC MANAGEMENT (MANAJEMEN PUBLIK)
MENURUT J.S OTT, A.C HYDE, DAN J.M SHAFRITZ


            Ott, Hyde, dan Shafritz (1990)
·         Manajemen publik memfokuskan pada administrasi publik sebagai sebuah profesi dan memfokuskan pada manajer publik sebagai praktisi dari profesi tersebut.
·         Manajemen publik lebih mencurahkan perhatian pada operasi-operasi atau pelaksanaan internal organisasi pemerintah atau organisasi non-profit ketimbang pada hubungannya dan interaksinya dengan legislatif, peradilan atau organisasi sektor publik lainnya.
Secara spesifik, mereka juga memfokuskan manajemen publik pada bagaimana organisasi publik mengimplementasikan kebijakan publik sekaligus perencanaan, pengorganisasian, dan pengontrolan merupakan perangkat utama yang dilakukan oleh manajer publik dalam rangka menyelenggarakan pelayanan pemerintah/publik.
      J. Steven Ott, Albert C. Hyde, dan Jay M.Shafritz berpendapat bahwa dalam tahun 1990-an, manajemen publik mengalami masa transisi dengan beberapa isu terpenting yang akan sangat menantang, yaitu:
1.      Privatisasi sebagai suatu alternatif bagi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.
2.      Rasionalitas dan akuntabilitas
3.      Perencanaan dan kontrol
4.      Keuangan dan penganggaran, dan
5.      Produktivitas sumber daya manusia.
Ott, Hyde, dan Shafritz (1991: xi) mengemukakan bahwa manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang pemerintahan yang tumpang tindih. Tapi, untuk membedaka keduanya, dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan “sistem , otak, dan syarat” sementara manajemen publik mempresentasikan “sistem jantung dan sirkulasi” dalam tubuh manusia serta manajemen publik sebagai proses menggerakkan SDM dan non-manusia sesuai perintah kebijakan publik.
Pengembangan manajemen publik di masa mendatang, menurut The National Commission on Public Service di Amerika Serikat (Ott, Hyde, dan Shafritz) perlu memperhatikan beberapa hal yaitu:
1.      Perlu mengidentivikasi secara jelas peran para pelayan public dalam proses yang demokratis, sekaligus standard etika dan kinerja yang tinggi dari pejabat kunci.
2.      Perlu fleksibilitas dalam menata organisasi , termasuk kebebasan mempekerjakan dan memecat pegawai yang harus diberikan kepada para pejabat departemen dan pimpinan instansi.
3.      Pengangkatan atau penunjukan pejabat oleh presiden harus dikurangi, dan lebih diberikan ruang untuk pengembangan karier profesional, dan
4.      Pemerintah harus melakukan investasi lebih besar dibanding pendidikan dan pelatihan eksekutif dan manajemen.
Pada tahun 1991 mereka memfokuskan manajemen publik pada alat-alat manajerial, tehnik-tehnik, imu pengetahuan,  dan keahlian yang dapat digunakan untuk menerapkan ide-ide dalam kebijakan kedalam program-program tindakan. Contohnya: perencanaan dan manajemen strategi, sistem klasifikasi jabatan, prosedur seleksi dan perekrutan pegawai, analisis dan formulasi anggaran, keahlian supervisi, evaluasi organisasi dan program, manajemen program/proyek, manajemen kinerja dan sebagainya.







DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Matin. 2004. Birokrasi. Yogyakarta ; Tiara Wacana
Frederickson, H. George. 1971. Toward a New Public Administration, dalam Frank E. Marini, Toward a New Public Administration: The Minnowbrook Perspective. Novato: Chandler Publishing Company
Sri Pujiati, Puji.2013.Tindakan Birokrasi Max Weber. Jakarta; Blogger
Sulandari, Defi.2012.Teori Birokrasi. Bali; Blogger
Noor, Irwan. 2012. Birokrasi Weber Dalam Perspektif Administrasi Publik. Bandung; Blogger
Alghifary, Sapta. 2014. Teori Birokrasi Menurut Max Weber. Jakarta; Blogger
Maretriana, Ella. 2013. Manajemen Ilmiah dan Manajemen Klasik ( F.W Taylor dan Hendry Fayol). Bogor; Blogger
Falkhy.2013. Mengenal Fungsi Manajemen. Bandung; Blogger
Handoko, T.H.2013. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-UGM
http://rumahbelajarpare.blogspot.co.id/2015/03/teori-administrasi-henri-fayol.html
Sinopati, Azmi. 2014.  . Mataram NTB: Blogger.




1 komentar: