Selasa, 03 Juli 2018

Reformasi Birokrasi

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Perjalanan politik masyarakat dan bangsa Indonesia menunjukkan kecenderungan yang sangat kuat bahwa birokrasi merupakan instrument politik yang sangat efektif yang dibangun oleh sebuah rezim guna membesarkan dan mempertahankan kekuasaan yang sudah ada. Hal itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, karena pola-pola pemanfaatan birokrasi sebagai instrument politik regim terjadi sejak masa pemerintahan colonial (Sutherland, 1990). Pada masa pemerintahan colonial kalangan “Pangreh Raja” merupakan instrument kekuasaan pemerintahan. Pemerintah kolonial memanfaatkannya untuk berhubungan dengan masyarakat lokal, sementara administrasi pemerintah kolonial itu sendiri dijalankan melalui semacam departemen dalam negeri yang sekarang disebut dengan Binenlandsch Bestuur (BB).
Ketika memasuki politik masa pasca kemerdekaan, terutama pada 1950-an awal, istilah Pangreh Praja di tinggalkan dan diganti menjadi Pamong Praja, dengan harapan mereka akan menjadi aparat pemerintahan baru yang memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakatnya. Sekalipun Pamong Praja merupakan sebutan untuk pegawai pemerintahan yang terdapat di lingkungan Departemen Dalam Negeri, Pegawai Negeri Sipil secara keseluruhan merupakan sebuah institusi yang menjadi tempat pertarungan kekuasaan dari partai-partai politik pada masa itu.
Konteks kehidupan politik yang demokratik pada masa pasca kemerdekaan yang diwarnai oleh system pemerintahan parlementer membawa implikasi yang sangat besar terhadap birokrasi Indonesia. Yang menjadi kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri yang merekruit para menteri dari partai-partai politik tertentu sesuai dengan bentuk koalisi pemerintahan yang terjadi pada waktu itu. Maka, yang terjadi kemudian adalah para menteri yang direkruit tersebut menjadikan departemen yang dipimpinnya sebagai sumber mobilisasi dukungan bagi partai politiknya. Oleh karena itu, sangat dikenal bahwa departemen tertentu merupakan sumber dukungan yang sangat kuat dari partai-partai politik tertentu. Hal itu terjadi misalnya pada Departemen Dalam Negeri dan Departemen Penerangan yang merupakan sumber dukungan yang sangat kuat bagi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada periode ini, pertama kalinya terselenggara pemilihan umum yang dikenal sangat demokratis. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi pramodial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini.
Birokrasi masa pasca-kemerdekaan mengalami proses politisasi, sekaligus fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudah terkapling-kapling ke dalam partai-partai politik yang bersaing dengan sangat intensif guna memperoleh dukungan. Di dalam birokrasi terjadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan dari partai politik yang kuat pada masa itu. Tentu saja, hal itu sangat tidak sehat karena peranan ideology masing-masing partai meningkatkan proses fragmentasi yang sangat tinggi. Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi, yaitu birokrasi pemerintah semata-mata ditempatkan sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh.
Hal itu berjalan terus sampai masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin saat demokrasi sedikit demi sedikit mengalami proses kematiannya, dan kekuasaan bertumpu kepada Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung Lidah Rakyat. Arah gerak birokrasi masih mengalami polarisasi yang sangat tajam dengan mengikuti arus polarisasi politik masyarakat. Sekalipun demikian, partai-partai politik sedikit demi sedikit peranannya dalam kehidupan politik nasional semakin terbatas, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI).
Politik pada masa demokrasi terpimpin merupakan politik tarik tambang antara tiga kekuatan politik, yaitu presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat. Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi kaplingan pengaruhnya di beberapa departemen pemerintahan (They are building a block in the government bureaucracy).  Partai-partai politik memainkan peran politik yang sangat terbatas karena Parlemen dan Konstituante yang merupakan ajang pertarungan kekuatan-kekuatan politik partai-partai politik telah dibubarkan oleh Soekarno. Akibatnya politisasi birokrasi tidak mengalami intensitas yang tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sekalipun demikian, fragmentasi dalam birokrasi merupakan sebuah kenyataan.
Terjadinya G30S/PKI1965 merubah peta politik nasional pada waktu itu. Soekarno dengan semangat otoritarianisme dan totalitarianisme tersingkir dari panggung politik nasional. Demikian juga dengan PKI. Partai politik terbesar ini, seperti yang diperlihatkan pada pemilihan umum di Jawa Tengah tahun 1957, mengalami proses nihilisasi. Partai tersebut dibubarkan oleh Jendral Soeharto pada Maret 1966. Saat Jendral Soeharto menjabat sebagai presiden Republik Indonesia yaitu pada masa orde baru birokrasi di Indonesia merupakan sebuah instrumen politik yang sangat efektif dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde baru.
Setelah memasuki masa reformasi seperti saat ini, fenomena birokrasi di Indonesia masih sangat buruk. Seperti yang sudah-sudah, yang terjadi dalam birokrasi adalah kurang baiknya mutu pelayanan (pelayanan yang berbelit-belit dan membosankan kepada masyarakat), belum efisien dalam pelayanan, belum berorientasi terhadap masyarakat.Adanya budaya sungkan, takut terhadap atasan, dan ABS (Asal Bapak Senang). Pemerintah banyak mempolitisasi semuanya, tak ada perkembangan menuju kearah yang lebih baik, justru lebih banyak terjadi money pilitik. Hadirnya partai politik dalam sistem pemerintahan berpengaruh pada sistem birokrasi pemerintah, yang kemudian menyebabkan susunan birokrasi pemerintah bukan hanya diisi oleh para birokrat karier tetapi juga pejabat politik.
Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi menjadikan mesin birokrasi menjadi sedemikian berat menjalankan fungsinya, birokrasi menghadapi kendala profesionalitas dan dimanfaatkan para politisi demi kepentingan sesaat, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar, menjunjung kepentingan golongan diatas kepentingan masyarakat. Adanya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Neotisme) di dalam birokrasi juga menghambat birokrasi untuk melakukan pelayanan publik dengan baik. KKN tersebut tidak hanya dilakukan oleh aparat birokrasi tetapi juga masyarakat luar. Hal itu diakibatkan karena penegakkan hukum yang lemah dan kurang tegas, yang kemudian menyebabkan kondisi indonesia semakin terpuruk dalam birokrasinya
Selain itu, pada saat sekarang ini pemerintah sedang genjar-genjarnya melaksanakan agenda reformasi birokrasi, namun karena kurangnya pemahaman, atau masih kurangnya sosialisasi, dan terbatasnya akses informasi “yang benar” akan reformasi birokrasi sering menyebabkan terjadi banyak pemahaman akan pengertian reformasi birokrasi itu sendiri. Hal ini dapat disebabkan karena beragamnya latar belakang ilmu pengetahuan para aparatur pemerintah yang menyebabkan adanya perbedaan pemahaman akan defenisi reformasi birokrasi itu sendiri. Ironisnya karena ketidak mengertian itu, kadang menyebabkan para aparatur berjalan justru menjauhi nilai-nilai reformasi birokrasi bukannya mendekatinya yang akhirnya merugikan banyak pihak di atas landasan reformasi birokrasi. Berdasarkan fenomena inilah, penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai reformasi birokrasi. Oleh karena itu, makalah ini dibuat dengan diberikan judul “Reformasi Birokrasi di Indonesia”.


B.    Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah yaitu:
1.     Apakah yang menjadi tujuan dan tuntutan dari reformasi birokrasi?
2.     Bagaimanakah penyesuaian reformasi birokrasi terhadap perubahan birokrasi di Indonesia?
3.     Bagaimanakah langkah-langkah untuk meningkatkan reformasi birokrasi menjadi lebih baik?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Teoritis

Pengertian Birokrasi

Dalam Webster’s dictionary, istilah birokrasi (bureaucracy) diartikan sebagai “the administration of government through departments and subdivisions managed by sets of officials following an inflexible routine”(administrasi pemerintah melalui beberapa departemen dan beberapa sub bagian yang dikelola oleh sekelompok pejabat untuk mengikuti rutinitas yang kaku). Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karya Budiono, MA, birokrasi didefinisikan sebagai “pemerintah yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak terpilih oleh rakyat; cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh kaum pegawai negeri; cara kerja atau aturan kerja yang terlampau lambat, serba menurut aturan yang berliku-liku”.
Dalam sebuah kamus politik, birokrasi didefinisikan sebagai:
a.       Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan;
b.      Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya;
c.       Birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah yang sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk.
Beberapa pengertian di atas menggambarkan birokrasi dengan begitu negative. Memang, dalam banyak hal, tuduhan mengenai kekakuan tersebut tidak meleset. Namun, keterikatan yang kaku ini tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku birokrat, tetapi justru merupakan akibat sistem atau tindakan lembaga lain, baik yang berkaitan dengan pemeriksaan keuangan maupun lembaga penegak hukum.
Selain itu, Max Weber juga memberikan gambaran ideal tentang birokrasi yaitu a clearly defined hierarchy where office holder have specific functions and aply universalistic rules in a spirit of formalistic impersonality (suatu hirarki yang ditetapkan secara jelas dimana para pemegang kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan menerapkan aturan universal dalam semangat impersonalitas yang formalistis).
Dalam kamus politik tahun 2003, birokrasi di definisikan sebagai: (a) Sistem pemerintahan yang di jalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. (b) Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menerut tat aturan yang banyak liku-likunya. (c) Birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah ynag sejati, karena mementingkan cara dan bentuk.
Dari sudut pandang penguasa, birokrasi sangat dibutuhkan karena dia merupakan sarana penguasa untuk mengimplementasikan kehendak (interest)-nya dalam kehidupan rakyat. Sementara itu dari sudut pandang rakyat, birokrasi juga sangat dibutuhkan sebagai lembaga yang melakukan pelayanan public. Dalam konteks ini, kehidupan rakyat juga tidak akan berjalan secara normal dan baik apabila aparatur birokrasi tidak mau menjalankan fungsi publiknya.

Pengertian Reformasi Birokrasi

Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat.
Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186). Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melihat pengalaman sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini. Dimana birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional. Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Oleh sebab itu cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntable dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban public serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.



B.     Tujuan dan Tuntutan Reformasi Birokrasi

a.      Tujuan Reformasi Birokrasi
Gerakan reformasi yang diguliran oleh berbagai kekuatan dalam masyarakat, yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998, bertujuan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang terpuruk akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut. Gerakan reformasi diharapkan dapat memberikan pengaruh bagi penyelesaian berbagai persoalan bangsa selama masa pemerintahan orde baru berkuasa, seperti kasus-kasus korupsi, nepotisme, dan kolusi. Berbagai kasus yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan yang dilakukan oleh elite-elite politik dan birokrasi orde baru diyakini merupakan salah satu faktor penyebab yang memperparah krisis ekonomi di Indonesia.
Reformasi di Indonesia harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup tiga lembaga kekuasaan yaitu: legislative, yudikatif, dan eksekutif. Eksekutif ini merupakan suatu lembaga birokrasi. Birokrasi merupakan driving force dalam kinerja eksekutif. Lembaga eksekutif yang sudah menerima mandate untuk menjalankan reformasi mau tidak mau harus mengadakan reformasi internal terlebih dahulu. Reformasi pemerintahan tidak akan terjadi sebelum birokrasi sendiri bias menjalankan program reformasi yang baik. Untuk itu, birokrasi harus dievaluasi terlebih dahulu, apakah sudah mampu menjadi agen reformasi, agent of change, dan sekaligus katalisator perbaikan kinerja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Public mengharapkan bahwa dengan terjadinya reformasi birokrasi, akan diikuti pula perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun cultural. Perubahan struktur, kultur, dan paradigm birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini.
Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan public diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel. Birokrasi dalam melakukan berbagai kegiatan perbaikan pelayanan diharapkan lebih berorientasi pada kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna jasa. Kepuasan total dan masyarakat pengguna jasa tersebut dapat dicapai apabila birokrasi pelayanan menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam pemberian layanan. Perubahan paradigma pelayanan public tersebut diarahkan pada perwujudan kualitas pelayanan prima kepada public, melalui instrument pelayanan yang memiliki orientasi pelayanan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.
Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang sering kali sangat berbeda dengan realita sosial yang ditemukan dalam masyarakat di negara maju. Realita empiric tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, yang kondisi birokrasi di negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadap oleh para reformis birokrasi di negara-negara maju pada sepuluh decade yang lalu.
Ketika reformasi birokrasi dimaknai sebagai perubahan positif dalam tubuh birokrasi, maka sebenarnya kita telah melakukan reformasi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Pencanangan pembangunan aparatur pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada masa lalu adalah gambaran bahwa reformasi birokrasi bukan sesuatu yang baru dalam birokrasi pemerintah. Bahkan, jika kita kembali membuka dokumen penataan kelembagaan pasca revolusi 1945 dan program-program pembangunan sejak tahun pertama penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, semangat untuk melaksanakan reformasi birokrasi sudah dapat kita temukan.
Namun demikian, reformasi bukan hanya sebuah proses perubahan. Reformasi adalah proses perubahan yang terencana dalam kerangka demokratisasi dan terbentuknya civil society. Indikator reformasi birokrasi antara lain adalah terwujudnya efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan rule of law dalam birokrasi. Dalam pemaknaan reformasi tersebut, maka reformasi birokrasi mendapatkan momentumnya berbarengan dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Proses reformasi birokrasi kemudian terus bergulir, dan dikuatkan dengan berbagai kebijakan, antara lain: penetapan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan nasional sebagai Haluan Negara, amandemen UUD 1945, penetapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan birokrasi yang bersih, telah ditetapkan pula beberapa kebijakan penting seperti TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, dan Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Beberapa kebijakan pemerintah telah ditetapkan dalam kerangka reformasi birokrasi.
Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
1.    Praktek KKN terjadi secara meluas dan dianggap perbuatan yang biasa atau membudaya pada hampir semua tingkatan, baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, di pusat dan daerah. Penanganan terhadap berbagai kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang tuntas dalam penindakan hukumnya;
2.    Kegiatan manjemen banyak diwarnai dengan praktek perbuatan in-efisiensi, seperti tindakan pemborosan dan tidak hemat;
3.    Mutu penyelenggaraan pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada kepastian, prosedur berbelit-belit;
4.    Otonomi daerah sebagai instrumen demokratisasi telah dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan berbagai efek negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi masih sangat jauh dari jangkauan. Oleh karena itu, pada dasarnya secara umum yang menjadi tujuan reformasi birokrasi adalah agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa :


1.        Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien
2.        Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara
3.        Pemerintah yang bersih (clean government)
4.        Bebas KKN
5.        Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

b.      Tuntutan Reformasi Birokrasi

New Public Management

10 langkah untuk mewirausahakan birokrasi (mengelola birokrasi secra wirausaha), diantaranya yaitu : (menurut David Orborne dan Ted Gaebler).
1.     Pemerintah katalisator;
2.     Pemerintah milik masyarakat;
3.     Pemerintah yang kompetitif;.
4.     Pmerintah yang di gerakkan oleh misi;
5.     Pemerintah yang berorientasi hasil;
6.     Pemerintah yang berorientasi pelanggan;
7.     Pemerintah wirausaha;
8.     Pemerintah antisipatif;
9.     Pemerintah desentralisasi:
10.     Pemerintah yang berorientasi pada pasar;
Hal tersebut sangat populer di Indonesia, Namun tidak ada yang mengkritisinya sehingga seolah-olah dapat di jadikan penolong dalam birokrasi yang menghadi kondisi kritis.

Good Public Governance

            Kajian mengenai tata pemerintah yang baik sangat gencar di lakukan di Indonesia, terutama pada tahun 1998. Pembicaraan dan perdebatan mengenai hal ini sangat ramai sejalan dengan tumbuhnya iklim keterbukaan.
Sekurang-kurangnya terdapat14 nilai yang menjadi prinsip tata pemerintahan yang baik, di antaranya:
1.     Wawasan ke depan
2.     Keterbukaan dan trasparansi
3.     Partisipasi masyarakat
4.     Tanggung jawab
5.     Supremasi hukum
6.     Demokrasi
7.     Profesionalisme dan kompetisi
8.     Daya tanggap
9.     Keefesienan dan keefektifan
10.  Desentralisasi
11.  Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat
12.  Komitmen pada pengurangan kesenjangan
13.  Komitmen pada perlindunagn lingkungan hidup
14.  Komitmen pada pasar yang fair.
c. Dicari Akar Permasalahannya

            Kajian tentang birokrasi harus di awali dengan kondisi dan kinerja aktual.  Ada banyak hal yang harus di pelajari dari sistem rekrutmen, sistem training, sistem pembinaan dalam kerja sehari-hari sistem pengendalian mutu, dan penjaminan mutu.
Faktor lain yang menetukan yaitu koordinasi dalam birokrasi. kepala pemerintah walaupun pejabat politik, adalah pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab terhadap birokrasi. Selain memiliki garis komando dan instruksi, ia juga memiliki otoritas untuk memperbaikki dan membangun birokrat.


C.     Penyesuaian Reformasi Birokrasi terhadap Perubahan Birokrasi di Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang juga mau tidak mau tidak bisa lepas dari globalisasi. Berbagai pengaruh baik positif maupun dampak negatifnya turut dirasakan oleh bangsa ini, yang juga secara lansung atau tidak lansung mempengaruhi dari birokrasi di Indonesia. Globalisasi diibaratkan sebagai dua sisi mata uang bagi suatu negara, disatu sisi mendatangkan kebaikan dan satu sisinya lagi mendatangkan keburukan pada suatu negara. Dalam globalisasi ini ditandai dengan persaingan “Among regions”: khususnya daerah-daerah otonom dimana investasi bisa ditanamkan, “Among government” : dipertandingkan efektifitasnya, “Among corporation” : dipertandingkan daya saingnya,“Among people” : dipertandingkan durability-nya (Riant Nugroho, 2003:43).
Ada beberapa konsep yang seharusnya dilakukan ataupun yang menjadi fokus pemerintah dalam menjawab tantangan dan langkah-langkah sebagi upaya penyesuaian diri terhadap globalisasi, yakni :
1.    Penerapan Good governance dalam pemerintahan
2.    Reformasi Birokrasi secara serius
3.    Pemerintahan yang berbasis elektronik
Ketiga hal tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Good Governance menghendaki adanya reformasi dalam birokrasi. Birokrasi Indonesia yang dinilai gemuk dan inefisiensi harus segera direform menuju birokrasi yang miskin organisasi akan tetapi kaya akan fungsi. Kemudian untuk merealisasikan good governance, pemerintahan yang berbasis elektronik diperlukan guna menciptakan birokrasi yang akuntabel dan responsif terhadap pelayanan publik .
Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.

D.    Langkah-langkah untuk Memajukan Reformasi Birokrasi

Mengikuti pemikiran Berger (1994) dalam manajemen perubahan (change management), maka hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan. Sekali pemicu tersebut diketemukan, birokrasi harus dapat merumuskan kebijakan dan program-program reformasi. Dalam birokrasi pemerintah kita, bentuk yang sangat penting dari pemicu tersebut adalah tuntutan masyarakat dan tekanan dunia internasional akan good governance.
Dalam rangka reformasi birokrasi, perubahan budaya birokrasi adalah suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Tanpa perubahan budaya, proses reformasi birokrasi akan mengalami banyak hambatan dan bahkan penolakan yang muncul baik dari dalam ataupun luar birokrasi. Perombak nilai dan peletakkan nilai-nilai baru ini, bukan pekerjaan yang sederhana. Perombakan nilai memerlukan strategi yang holistic, melingkupi berbagai faktor yang membentuk budaya birokrasi, seperti:
a.         Pengaruh eksternal yang luas, seperti lingkungan alam dan peristiwa-peristiwa sejarah yang membentuk masyarakat;
b.         Nilai-nilai masyarakat dan budaya nasional;
c.         Unsur-unsur khas dari organisasi; dan
d.        Nilai-nilai dasar dari koalisi dominan, yakni kelompok yang memiliki kekuasaan dan kendali yang paling besar. (Tosi, Rizzo, dan Carroll dalam Munandar, 2001).
Change management perlu diterapkan dan diimplementasikan di dunia birokrasi pemerintah atau public governance. Oleh karena itu, hal ini harus dikawal dengan pengendalian tanpa kompromiatau toleransi. Artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan target dan sasaran yang telah diputuskan , serta diiringi dengan jaminan dan kendali mutu yang ketat.
 Change management atas birokrasi pemerintahan yang implementasinya minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:

·           Menghentikan pendarahan, maksudnya adalah tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan dan mengakibatkan kehancuran sistem kerja birokrasi semakin parah. Ini ibarat pendarahan yang jika tidak disumbat akan semakin menggrogoti kesehatan badan. Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, perbuatan atau tidak adanya perbuatan tersebut harus ditutup terlebih dahulu, setidaknya untuk membatasi kelemahan kinerja birokrasi. Ini setidaknya mencakup lima hal, antara lain:
a.        Hentikan lemahnya komitmen pimpinan dalam perbaikan birokrasi.
b.        Hentikan inefisiensi, baik tergolong penyimpangan atau tidak.
c.        Stop Fee (hentikan pemberian dan penerimaan komisi).
d.       Hentikan pemekaran wilayah dan lembaga Negara/komisi yang mengakibatkan pemekaran birokrasi.
e.        Hentikan “lomba glamor” fasilitas antarbirokrat.

·           Batas waktu pelaksanaan change management secara serius, serempak, dan direalisasikan tanpa kompromi atau toleransi.
Perlu ada batas waktu untuk memulai secara serius dan dengan persiapan mendalam. Ini mencakup batasan mulai kapan kita telah siap dengan segala perangkatnya. Demikian juga ukuran dan sanksi apa yang harus diterapkan, ketika pejabat atau birokrat kita tidak mampu berbuat dan berprestasi sesuai dengan ukuran minimalnya. Untuk itu, perlu ada semacam kontrak kerja sebagai ganti kontrak politik untuk jabatan politik.
·           Jabatan eselon satu dan eselon dua harus dipegang oleh leader-manager yaitu birokrat atau pejabat yang memahami , menghayati, dan mempraktikkan management leadership (kepemimpinan manajemen).
Salah satu kelemahan birokrasi yang tergolong serius adalah bahwa banyak pejabat kurang menguasai manajemen dan kepemimpinan. Banyak yang bekerja hanya sekedar mengalir sampai ke jabatan yang lebih tinggi, bahkan ke puncak birokrasi, yaitu eselon satu. Oleh karena itu, salah satu hal yang dimasukkan dalam program reformasi birokrasi ini adalah pembenahan pejabat eselon satu dan eselon dua.
·           Benchmarking ke beberapa Negara untuk merumuskan detail management.
Melakukan benchmarking ke birokrasi pemerintahan negara lain, terutama yang menurut penilaian lembaga internasional memiliki good public governance, sangatlah penting. Kegiatan ini seharsnya tidak hanya dijadikan ajang jalan-jalan para pejabat. Mereka harus serius menjalankannya seperti biasa dilakukan oleh sejumlah perusahaan ternama. Kegiatan ini sekaligus dapat dipergunakan sebagai awal untuk menentukan standar kinerja, indicator keberhasilan, serta target dan tuntutan yang harus dikerjakan oleh birokrat kita, terutama untuk melakukan change management.
·           Terwujudnya standar kinerja dan indicator keberhasilan yang konkret, jelas, dapat dipraktikkan, dan dapat diukur dengan mekanisme pengendalian yang efektif, efesien, dan tepat sasaran sehingga pengendalian mutuakan terjamin.
Pengendalian yang lemah dan sistem kerja birokrasi kita adalah faktor utama yang menghambatimplementasi kebijakan dan ketentuan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
·           Mendayagunakan lembaga pengawasan untuk menjalankan peran kendali mutu dan membentuk lembaga yang menjalankan peran penjaminan mutu agar dapat sampai pada target yang telah ditetapkan dengan standar yang ada.
Ketika standar kinerja dan indicator keberhasilan sudah jelas, perlu ada sistem pengendalian dan pengawasan yang baik. Di samping itu juga perlu dibentuk lembaga penjamin mutu (quality assurance). Lembaga ini belum ada di dalam pemerintahan kita. Padahal, jaminan mutu adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, terutama untuk memperbaiki kinerja birokrasi.
·           Pengawasan mencakup evaluasi mendasar terhadap rencana kerja departemen/lembaga non-departemen secara ketat.
Setiap departemen atau lembaga non departemen harus selalu melakukan pengawasan, termasuk evaluasi, koreksi, dan sejenisnya untuk menjalankan RPJM Nasional (Perpres No. 7 tahun 2005). Namun seluruh perencanaan kerja pemerintah sendiri juga perlu dievaluasi dan dikoreksi secara rutin setiap tahun.
·           Peningkatan gaji PNS secara signifikan.
Yang tidak kalah penting  dalam transformasi birokrasi adalah sistem remunerasi PNS, termasuk para pejabatnya. Hal ini juga erat sekali kaitannya dengan kebijakan dan komitmen pemberantasan KKN. Gaji PNS harus dinaikkan secara signifikan, bukan kenaikkan berkala seperti yang terjadi selama ini yang hanya menutup inflasi. Perbaikan renumerasi ini merupakan reformasi mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk memperbaiki kinerja birokrasi kita.
·           Restrukturasi PNS.
Evaluasi mendasar terhadap kinerja PNS hampir mirip dengan rekrutmen ulang. Namun sebelum dilakukan rekrutmen ulang, PNS harus diberi waktu untuk memperbaiki diri. Ketika standar kinerja dan indicator keberhasilannya sudah jelas, harus jelas pula tuntutan kinerjanya.

·           Perubahan system pendidikan dan latihan.
Sistem pendidikan dan latihan harus diperbaiki, direformasi secara mendasar. Diklat PNS, mulai untuk pra jabatan, tenaga administrasi, sampai untuk pimpinan selama ini selalu didominasi oleh aktifitas formal dan seremonial. Materi dan metode hampir selalu sama, seolah menjadi doktrin yang sulit diubah, padahal dunia dan tuntuta terhadap kinerja birokrasi selalu berubah, terlebih setelah era reformasi.



BAB III
PENUTUP



KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan isi dan pembahasan, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan diantaranya:
1.    Tujuan Reformasi Birokrasi yaitu agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa.
2.    Dalam era globalisasi ini birokrasi dituntut untuk lebih efisien, efektif, responsif dan akuntabel.
3.    Hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan.







DAFTAR PUSTAKA

Andrain, Charles F.1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Social. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya
Azizy, A. Qodri. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT: Gramedia Pustaka Utama
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
David O, Ted G. 1991. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: PPM
Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hendra. Juni. 2013. Fenomena Birokrasi di Indonesia. http://hendraspot.blogspot.com
Kusnardi, Ibrahim H. 1976. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI dan CV “Sinar Bakti”
Setiyono, Budi. 2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Semarang: Nuansa Cendikia
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Tamin, Faisal. 2004. Reformasi Birokrasi. Jakarta: Blantika
Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Thoha, Miftah. 2012. Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia. Yogyakarta: Thafa Media dan Matapena Institute
Undang-undang. No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Warham, Joyce. 1977. An Open House Case. London: Routledge And Kegan Paul


https://nefifitriana.blogspot.co.id/2016/07/makalah-reformasi-birokrasi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar