BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan politik
masyarakat dan bangsa Indonesia menunjukkan kecenderungan yang sangat kuat
bahwa birokrasi merupakan instrument politik yang sangat efektif yang dibangun
oleh sebuah rezim guna membesarkan dan mempertahankan kekuasaan yang sudah ada.
Hal itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, karena pola-pola pemanfaatan
birokrasi sebagai instrument politik regim terjadi sejak masa pemerintahan
colonial (Sutherland, 1990). Pada masa pemerintahan colonial kalangan “Pangreh
Raja” merupakan instrument kekuasaan pemerintahan. Pemerintah kolonial
memanfaatkannya untuk berhubungan dengan masyarakat lokal, sementara
administrasi pemerintah kolonial itu sendiri dijalankan melalui semacam
departemen dalam negeri yang sekarang disebut dengan Binenlandsch
Bestuur (BB).
Ketika memasuki
politik masa pasca kemerdekaan, terutama pada 1950-an awal, istilah Pangreh
Praja di tinggalkan dan diganti menjadi Pamong Praja, dengan harapan mereka
akan menjadi aparat pemerintahan baru yang memberikan pelayanan dan pengayoman
kepada masyarakatnya. Sekalipun Pamong Praja merupakan sebutan untuk pegawai
pemerintahan yang terdapat di lingkungan Departemen Dalam Negeri, Pegawai
Negeri Sipil secara keseluruhan merupakan sebuah institusi yang menjadi tempat
pertarungan kekuasaan dari partai-partai politik pada masa itu.
Konteks kehidupan
politik yang demokratik pada masa pasca kemerdekaan yang diwarnai oleh system
pemerintahan parlementer membawa implikasi yang sangat besar terhadap birokrasi
Indonesia. Yang menjadi kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri yang
merekruit para menteri dari partai-partai politik tertentu sesuai dengan bentuk
koalisi pemerintahan yang terjadi pada waktu itu. Maka, yang terjadi
kemudian adalah para menteri yang direkruit tersebut menjadikan departemen yang
dipimpinnya sebagai sumber mobilisasi dukungan bagi partai politiknya. Oleh
karena itu, sangat dikenal bahwa departemen tertentu merupakan sumber dukungan
yang sangat kuat dari partai-partai politik tertentu. Hal itu terjadi misalnya
pada Departemen Dalam Negeri dan Departemen Penerangan yang merupakan sumber
dukungan yang sangat kuat bagi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada periode ini,
pertama kalinya terselenggara pemilihan umum yang dikenal sangat demokratis.
Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan
merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini
cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala
semakin menguatnya aspirasi pramodial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita.
Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi
pemerintah ini.
Birokrasi masa
pasca-kemerdekaan mengalami proses politisasi, sekaligus fragmentasi. Sekalipun
jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah bukanlah sebuah organisasi
yang menyatu karena sudah terkapling-kapling ke dalam partai-partai politik
yang bersaing dengan sangat intensif guna memperoleh dukungan. Di dalam
birokrasi terjadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan dari partai politik
yang kuat pada masa itu. Tentu saja, hal itu sangat tidak sehat karena peranan
ideology masing-masing partai meningkatkan proses fragmentasi yang sangat
tinggi. Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi, yaitu
birokrasi pemerintah semata-mata ditempatkan sebagai instrument politik yang
berkuasa atau berpengaruh.
Hal itu berjalan terus
sampai masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin saat demokrasi sedikit demi
sedikit mengalami proses kematiannya, dan kekuasaan bertumpu kepada Presiden
Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung Lidah Rakyat. Arah
gerak birokrasi masih mengalami polarisasi yang sangat tajam dengan mengikuti
arus polarisasi politik masyarakat. Sekalipun demikian, partai-partai politik
sedikit demi sedikit peranannya dalam kehidupan politik nasional semakin
terbatas, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI).
Politik pada masa
demokrasi terpimpin merupakan politik tarik tambang antara tiga kekuatan
politik, yaitu presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat.
Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi
kaplingan pengaruhnya di beberapa departemen pemerintahan (They are building
a block in the government bureaucracy). Partai-partai politik
memainkan peran politik yang sangat terbatas karena Parlemen dan Konstituante
yang merupakan ajang pertarungan kekuatan-kekuatan politik partai-partai
politik telah dibubarkan oleh Soekarno. Akibatnya politisasi birokrasi tidak
mengalami intensitas yang tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sekalipun
demikian, fragmentasi dalam birokrasi merupakan sebuah kenyataan.
Terjadinya
G30S/PKI1965 merubah peta politik nasional pada waktu itu. Soekarno dengan
semangat otoritarianisme dan totalitarianisme tersingkir dari panggung politik
nasional. Demikian juga dengan PKI. Partai politik terbesar ini, seperti yang
diperlihatkan pada pemilihan umum di Jawa Tengah tahun 1957, mengalami proses
nihilisasi. Partai tersebut dibubarkan oleh Jendral Soeharto pada Maret 1966.
Saat Jendral Soeharto menjabat sebagai presiden Republik Indonesia yaitu pada
masa orde baru birokrasi di Indonesia merupakan sebuah instrumen politik yang
sangat efektif dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde
baru.
Setelah memasuki masa
reformasi seperti saat ini, fenomena birokrasi
di Indonesia masih sangat buruk. Seperti yang sudah-sudah, yang terjadi dalam
birokrasi adalah kurang baiknya mutu pelayanan (pelayanan yang berbelit-belit
dan membosankan kepada masyarakat), belum efisien dalam pelayanan, belum
berorientasi terhadap masyarakat.Adanya budaya sungkan, takut terhadap
atasan, dan ABS (Asal Bapak Senang). Pemerintah banyak mempolitisasi semuanya, tak
ada perkembangan menuju kearah yang lebih baik, justru lebih banyak terjadi
money pilitik. Hadirnya partai politik dalam sistem pemerintahan berpengaruh
pada sistem birokrasi pemerintah, yang kemudian menyebabkan susunan birokrasi
pemerintah bukan hanya diisi oleh para birokrat karier tetapi juga pejabat
politik.
Dominasi kepemimpinan
pejabat politik atas birokrasi menjadikan mesin birokrasi menjadi sedemikian
berat menjalankan fungsinya, birokrasi menghadapi kendala profesionalitas dan
dimanfaatkan para politisi demi kepentingan sesaat, dengan mengorbankan
kepentingan yang lebih besar, menjunjung kepentingan golongan diatas
kepentingan masyarakat. Adanya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Neotisme)
di dalam birokrasi juga menghambat birokrasi untuk melakukan pelayanan publik
dengan baik. KKN tersebut tidak hanya
dilakukan oleh aparat birokrasi tetapi juga masyarakat luar. Hal itu
diakibatkan karena penegakkan hukum yang lemah dan kurang tegas, yang kemudian
menyebabkan kondisi indonesia semakin terpuruk dalam birokrasinya
Selain itu, pada saat
sekarang ini pemerintah sedang genjar-genjarnya melaksanakan agenda reformasi
birokrasi, namun karena kurangnya pemahaman, atau masih kurangnya sosialisasi,
dan terbatasnya akses informasi “yang benar” akan reformasi birokrasi sering
menyebabkan terjadi banyak pemahaman akan pengertian reformasi birokrasi itu
sendiri. Hal ini dapat disebabkan karena beragamnya latar belakang ilmu
pengetahuan para aparatur pemerintah yang menyebabkan adanya perbedaan
pemahaman akan defenisi reformasi birokrasi itu sendiri. Ironisnya karena
ketidak mengertian itu, kadang menyebabkan para aparatur berjalan justru
menjauhi nilai-nilai reformasi birokrasi bukannya mendekatinya yang akhirnya
merugikan banyak pihak di atas landasan reformasi birokrasi. Berdasarkan
fenomena inilah, penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai reformasi
birokrasi. Oleh karena itu, makalah ini dibuat dengan diberikan judul “Reformasi
Birokrasi di Indonesia”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan
latar belakang di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah
yaitu:
1. Apakah yang menjadi
tujuan dan tuntutan dari reformasi birokrasi?
2. Bagaimanakah
penyesuaian reformasi birokrasi terhadap perubahan birokrasi di Indonesia?
3. Bagaimanakah
langkah-langkah untuk meningkatkan reformasi birokrasi menjadi lebih baik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Teoritis
Pengertian
Birokrasi
Dalam Webster’s
dictionary, istilah birokrasi (bureaucracy) diartikan sebagai “the
administration of government through departments and subdivisions managed by
sets of officials following an inflexible routine”(administrasi pemerintah
melalui beberapa departemen dan beberapa sub bagian yang dikelola oleh
sekelompok pejabat untuk mengikuti rutinitas yang kaku). Dalam Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia karya Budiono, MA, birokrasi didefinisikan
sebagai “pemerintah yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak terpilih
oleh rakyat; cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh kaum pegawai negeri;
cara kerja atau aturan kerja yang terlampau lambat, serba menurut aturan yang
berliku-liku”.
Dalam sebuah kamus
politik, birokrasi didefinisikan sebagai:
a. Sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki
dan jenjang jabatan;
b. Cara bekerja atau
susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan
sebagainya) yang banyak liku-likunya;
c. Birokrasi sering
melupakan tujuan pemerintah yang sejati, karena terlalu mementingkan cara dan
bentuk.
Beberapa pengertian di
atas menggambarkan birokrasi dengan begitu negative. Memang, dalam banyak hal,
tuduhan mengenai kekakuan tersebut tidak meleset. Namun, keterikatan yang kaku
ini tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku birokrat, tetapi justru
merupakan akibat sistem atau tindakan lembaga lain, baik yang berkaitan dengan
pemeriksaan keuangan maupun lembaga penegak hukum.
Selain itu, Max Weber
juga memberikan gambaran ideal tentang birokrasi yaitu a clearly
defined hierarchy where office holder have specific functions and aply
universalistic rules in a spirit of formalistic impersonality (suatu
hirarki yang ditetapkan secara jelas dimana para pemegang kantor mempunyai
fungsi yang sangat spesifik dan menerapkan aturan universal dalam semangat
impersonalitas yang formalistis).
Dalam kamus politik
tahun 2003, birokrasi di definisikan sebagai: (a) Sistem pemerintahan
yang di jalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki
dan jenjang jabatan. (b) Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba
lamban serta menerut tat aturan yang banyak
liku-likunya. (c) Birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah ynag
sejati, karena mementingkan cara dan bentuk.
Dari sudut pandang
penguasa, birokrasi sangat dibutuhkan karena dia merupakan sarana
penguasa untuk mengimplementasikan kehendak (interest)-nya dalam kehidupan
rakyat. Sementara itu dari sudut pandang rakyat, birokrasi juga sangat
dibutuhkan sebagai lembaga yang melakukan pelayanan public. Dalam konteks
ini, kehidupan rakyat juga tidak akan berjalan secara normal dan baik apabila
aparatur birokrasi tidak mau menjalankan fungsi publiknya.
Pengertian
Reformasi Birokrasi
Reformasi adalah
mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada.
Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya
masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam
pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180).
Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan
masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah
perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat,
dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan
demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat
manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan
masyarakat.
Dilihat dari aspek
perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan
ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban,
serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok
dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku,
dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976)
mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur
birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai
efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi
sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.
Dari pengertian ini,
maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur,
tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the
ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah
tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. Reformasi
bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang
selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi
birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus
globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti
presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen
dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Reformasi birokrasi
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melihat
pengalaman sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan
langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara. Melalui reformasi
birokrasi, dilakukan penataan terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang
punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi birokrasi memang
akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi
birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan
tuntutan situasi dan kondisi saat ini. Dimana birokrasi dituntut untuk dapat
melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional. Birokrasi merupakan
faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Oleh sebab itu
cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan
yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif,
akuntable dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku
birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban public serta
integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan
cita-cita dan tujuan bernegara. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan
upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia
aparatur. Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya rasionalisasi
birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan produktifitas melalui
pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio
antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya disertai tata kerja
formalistic dan pengawasan yang ketat.
B.
Tujuan dan Tuntutan Reformasi Birokrasi
a. Tujuan
Reformasi Birokrasi
Gerakan reformasi yang
diguliran oleh berbagai kekuatan dalam masyarakat, yang dipelopori oleh
mahasiswa pada tahun 1998, bertujuan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang
terpuruk akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut. Gerakan reformasi
diharapkan dapat memberikan pengaruh bagi penyelesaian berbagai persoalan
bangsa selama masa pemerintahan orde baru berkuasa, seperti kasus-kasus
korupsi, nepotisme, dan kolusi. Berbagai kasus yang menyangkut penyalahgunaan
kekuasaan dan jabatan yang dilakukan oleh elite-elite politik dan birokrasi
orde baru diyakini merupakan salah satu faktor penyebab yang memperparah krisis
ekonomi di Indonesia.
Reformasi di Indonesia
harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup tiga lembaga kekuasaan yaitu:
legislative, yudikatif, dan eksekutif. Eksekutif ini merupakan suatu lembaga
birokrasi. Birokrasi merupakan driving force dalam kinerja
eksekutif. Lembaga eksekutif yang sudah menerima mandate untuk menjalankan
reformasi mau tidak mau harus mengadakan reformasi internal terlebih dahulu.
Reformasi pemerintahan tidak akan terjadi sebelum birokrasi sendiri bias
menjalankan program reformasi yang baik. Untuk itu, birokrasi harus dievaluasi
terlebih dahulu, apakah sudah mampu menjadi agen reformasi, agent of
change, dan sekaligus katalisator perbaikan kinerja dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Public mengharapkan
bahwa dengan terjadinya reformasi birokrasi, akan diikuti pula perubahan besar
pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara, baik yang
menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun cultural.
Perubahan struktur, kultur, dan paradigm birokrasi dalam berhadapan dengan
masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai
kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah
terjadi sampai saat ini.
Reformasi birokrasi
dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan public diarahkan
untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel. Birokrasi
dalam melakukan berbagai kegiatan perbaikan pelayanan diharapkan lebih
berorientasi pada kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna jasa. Kepuasan
total dan masyarakat pengguna jasa tersebut dapat dicapai apabila birokrasi pelayanan
menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam pemberian layanan. Perubahan
paradigma pelayanan public tersebut diarahkan pada perwujudan kualitas
pelayanan prima kepada public, melalui instrument pelayanan yang memiliki
orientasi pelayanan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.
Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana
birokrasi di negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan
Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik, dan ekonomi yang
dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang sering kali sangat berbeda
dengan realita sosial yang ditemukan dalam masyarakat di negara maju. Realita
empiric tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, yang kondisi birokrasi
di negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadap
oleh para reformis birokrasi di negara-negara maju pada sepuluh decade yang
lalu.
Ketika reformasi
birokrasi dimaknai sebagai perubahan positif dalam tubuh birokrasi, maka
sebenarnya kita telah melakukan reformasi tersebut dalam waktu yang cukup lama.
Pencanangan pembangunan aparatur pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) pada masa lalu adalah gambaran bahwa reformasi birokrasi bukan
sesuatu yang baru dalam birokrasi pemerintah. Bahkan, jika kita kembali membuka
dokumen penataan kelembagaan pasca revolusi 1945 dan program-program
pembangunan sejak tahun pertama penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
semangat untuk melaksanakan reformasi birokrasi sudah dapat kita temukan.
Namun demikian,
reformasi bukan hanya sebuah proses perubahan. Reformasi adalah proses
perubahan yang terencana dalam kerangka demokratisasi dan terbentuknya civil
society. Indikator reformasi birokrasi antara lain adalah terwujudnya
efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan rule of
law dalam birokrasi. Dalam pemaknaan reformasi tersebut, maka reformasi
birokrasi mendapatkan momentumnya berbarengan dengan lengsernya Soeharto dari
kursi kepresidenan pada tahun 1998. Proses reformasi birokrasi kemudian terus
bergulir, dan dikuatkan dengan berbagai kebijakan, antara lain: penetapan TAP
MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan nasional sebagai Haluan Negara,
amandemen UUD 1945, penetapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam kaitannya dengan
upaya menciptakan birokrasi yang bersih, telah ditetapkan pula beberapa
kebijakan penting seperti TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme, dan Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah Beberapa kebijakan pemerintah telah ditetapkan dalam
kerangka reformasi birokrasi.
Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
1. Praktek KKN terjadi
secara meluas dan dianggap perbuatan yang biasa atau membudaya pada hampir
semua tingkatan, baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, di pusat dan
daerah. Penanganan terhadap berbagai kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang
tuntas dalam penindakan hukumnya;
2. Kegiatan manjemen
banyak diwarnai dengan praktek perbuatan in-efisiensi, seperti tindakan
pemborosan dan tidak hemat;
3. Mutu penyelenggaraan
pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada
kepastian, prosedur berbelit-belit;
4. Otonomi daerah sebagai
instrumen demokratisasi telah dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan
berbagai efek negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kondisi tersebut
memberikan gambaran bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi
masih sangat jauh dari jangkauan. Oleh karena itu, pada dasarnya secara umum
yang menjadi tujuan reformasi birokrasi adalah agar terciptanya good
governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa :
1. Memperbaiki kinerja
birokrasi agar lebih efektif dan efisien
2. Terciptanya birokrasi
yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki
integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku
abdi masyarakat dan abdi negara
3. Pemerintah yang bersih
(clean government)
4. Bebas KKN
5. Meningkatkan kualitas
pelayanan terhadap masyarakat.
b. Tuntutan Reformasi Birokrasi
New Public
Management
10 langkah untuk
mewirausahakan birokrasi (mengelola birokrasi secra wirausaha), diantaranya
yaitu : (menurut David Orborne dan Ted Gaebler).
1. Pemerintah
katalisator;
2. Pemerintah milik
masyarakat;
3. Pemerintah yang
kompetitif;.
4. Pmerintah yang di
gerakkan oleh misi;
5. Pemerintah yang
berorientasi hasil;
6. Pemerintah yang
berorientasi pelanggan;
7. Pemerintah wirausaha;
8. Pemerintah
antisipatif;
9. Pemerintah
desentralisasi:
10. Pemerintah yang
berorientasi pada pasar;
Hal tersebut sangat populer di
Indonesia, Namun tidak ada yang mengkritisinya sehingga seolah-olah dapat di
jadikan penolong dalam birokrasi yang menghadi kondisi kritis.
Good Public
Governance
Kajian
mengenai tata pemerintah yang baik sangat gencar di lakukan di Indonesia,
terutama pada tahun 1998. Pembicaraan dan perdebatan mengenai hal ini sangat
ramai sejalan dengan tumbuhnya iklim keterbukaan.
Sekurang-kurangnya
terdapat14 nilai yang menjadi prinsip tata pemerintahan yang baik, di
antaranya:
1. Wawasan ke depan
2. Keterbukaan dan
trasparansi
3. Partisipasi masyarakat
4. Tanggung jawab
5. Supremasi hukum
6. Demokrasi
7. Profesionalisme dan
kompetisi
8. Daya tanggap
9. Keefesienan dan
keefektifan
10. Desentralisasi
11. Kemitraan dengan dunia
usaha swasta dan masyarakat
12. Komitmen pada
pengurangan kesenjangan
13. Komitmen pada
perlindunagn lingkungan hidup
14. Komitmen pada pasar
yang fair.
c. Dicari Akar Permasalahannya
Kajian
tentang birokrasi harus di awali dengan kondisi dan kinerja
aktual. Ada banyak hal yang harus di pelajari dari sistem rekrutmen,
sistem training, sistem pembinaan dalam kerja sehari-hari sistem pengendalian
mutu, dan penjaminan mutu.
Faktor lain yang
menetukan yaitu koordinasi dalam birokrasi. kepala pemerintah walaupun pejabat
politik, adalah pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab terhadap birokrasi.
Selain memiliki garis komando dan instruksi, ia juga memiliki otoritas untuk
memperbaikki dan membangun birokrat.
C.
Penyesuaian Reformasi Birokrasi terhadap
Perubahan Birokrasi di Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara yang
sedang berkembang juga mau tidak mau tidak bisa lepas dari globalisasi.
Berbagai pengaruh baik positif maupun dampak negatifnya turut dirasakan oleh
bangsa ini, yang juga secara lansung atau tidak lansung mempengaruhi dari
birokrasi di Indonesia. Globalisasi diibaratkan sebagai dua sisi mata uang bagi
suatu negara, disatu sisi mendatangkan kebaikan dan satu sisinya lagi
mendatangkan keburukan pada suatu negara. Dalam globalisasi ini ditandai dengan
persaingan “Among regions”: khususnya daerah-daerah otonom dimana
investasi bisa ditanamkan, “Among government” : dipertandingkan
efektifitasnya, “Among corporation” : dipertandingkan daya
saingnya,“Among people” : dipertandingkan durability-nya (Riant
Nugroho, 2003:43).
Ada beberapa konsep yang seharusnya
dilakukan ataupun yang menjadi fokus pemerintah dalam menjawab tantangan dan
langkah-langkah sebagi upaya penyesuaian diri terhadap globalisasi, yakni :
1. Penerapan Good governance dalam pemerintahan
2. Reformasi Birokrasi secara serius
3. Pemerintahan yang berbasis elektronik
Ketiga hal tersebut saling berkaitan
antara satu dengan lainnya. Good Governance menghendaki adanya reformasi dalam
birokrasi. Birokrasi Indonesia yang dinilai gemuk dan inefisiensi harus segera
direform menuju birokrasi yang miskin organisasi akan tetapi kaya akan fungsi.
Kemudian untuk merealisasikan good governance, pemerintahan yang berbasis
elektronik diperlukan guna menciptakan birokrasi yang akuntabel dan responsif
terhadap pelayanan publik .
Antisipasi Pengaruh
Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1. Menumbuhkan semangat nasionalisme
yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai-
nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran
agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum,
menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil-
adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh
globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah-
langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi
yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak
akan kehilangan kepribadian bangsa.
D.
Langkah-langkah untuk Memajukan Reformasi
Birokrasi
Mengikuti pemikiran
Berger (1994) dalam manajemen perubahan (change management), maka hal pertama
yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang
disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah,
pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal
maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan
kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan.
Sekali pemicu tersebut diketemukan, birokrasi harus dapat merumuskan kebijakan
dan program-program reformasi. Dalam birokrasi pemerintah kita, bentuk yang
sangat penting dari pemicu tersebut adalah tuntutan masyarakat dan tekanan
dunia internasional akan good governance.
Dalam rangka reformasi
birokrasi, perubahan budaya birokrasi adalah suatu kebutuhan yang sangat
mendasar. Tanpa perubahan budaya, proses reformasi birokrasi akan mengalami
banyak hambatan dan bahkan penolakan yang muncul baik dari dalam ataupun luar
birokrasi. Perombak nilai dan peletakkan nilai-nilai baru ini, bukan pekerjaan
yang sederhana. Perombakan nilai memerlukan strategi yang holistic, melingkupi
berbagai faktor yang membentuk budaya birokrasi, seperti:
a. Pengaruh eksternal
yang luas, seperti lingkungan alam dan peristiwa-peristiwa sejarah yang
membentuk masyarakat;
b. Nilai-nilai masyarakat
dan budaya nasional;
c. Unsur-unsur khas dari
organisasi; dan
d. Nilai-nilai dasar dari
koalisi dominan, yakni kelompok yang memiliki kekuasaan dan kendali yang paling
besar. (Tosi, Rizzo, dan Carroll dalam Munandar, 2001).
Change management
perlu diterapkan dan diimplementasikan di dunia birokrasi pemerintah atau public
governance. Oleh karena itu, hal ini harus dikawal dengan pengendalian
tanpa kompromiatau toleransi. Artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan target
dan sasaran yang telah diputuskan , serta diiringi dengan jaminan dan kendali
mutu yang ketat.
Change management atas birokrasi pemerintahan yang implementasinya minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
Change management atas birokrasi pemerintahan yang implementasinya minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
·
Menghentikan pendarahan, maksudnya adalah tindakan yang dilakukan atau yang
tidak dilakukan dan mengakibatkan kehancuran sistem kerja birokrasi semakin
parah. Ini ibarat pendarahan yang jika tidak disumbat akan semakin menggrogoti
kesehatan badan. Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, perbuatan atau tidak
adanya perbuatan tersebut harus ditutup terlebih dahulu, setidaknya untuk
membatasi kelemahan kinerja birokrasi. Ini setidaknya mencakup lima hal, antara
lain:
a. Hentikan lemahnya
komitmen pimpinan dalam perbaikan birokrasi.
b. Hentikan inefisiensi,
baik tergolong penyimpangan atau tidak.
c. Stop Fee (hentikan
pemberian dan penerimaan komisi).
d. Hentikan pemekaran
wilayah dan lembaga Negara/komisi yang mengakibatkan pemekaran birokrasi.
e. Hentikan “lomba
glamor” fasilitas antarbirokrat.
·
Batas waktu pelaksanaan change management secara serius, serempak, dan
direalisasikan tanpa kompromi atau toleransi.
Perlu ada batas waktu
untuk memulai secara serius dan dengan persiapan mendalam. Ini mencakup batasan
mulai kapan kita telah siap dengan segala perangkatnya. Demikian juga ukuran
dan sanksi apa yang harus diterapkan, ketika pejabat atau birokrat kita tidak
mampu berbuat dan berprestasi sesuai dengan ukuran minimalnya. Untuk itu, perlu
ada semacam kontrak kerja sebagai ganti kontrak politik untuk jabatan politik.
·
Jabatan eselon satu dan eselon dua harus dipegang oleh leader-manager yaitu
birokrat atau pejabat yang memahami , menghayati, dan mempraktikkan management
leadership (kepemimpinan manajemen).
Salah satu kelemahan
birokrasi yang tergolong serius adalah bahwa banyak pejabat kurang menguasai
manajemen dan kepemimpinan. Banyak yang bekerja hanya sekedar mengalir sampai
ke jabatan yang lebih tinggi, bahkan ke puncak birokrasi, yaitu eselon satu.
Oleh karena itu, salah satu hal yang dimasukkan dalam program reformasi
birokrasi ini adalah pembenahan pejabat eselon satu dan eselon dua.
·
Benchmarking ke beberapa Negara untuk
merumuskan detail management.
Melakukan benchmarking ke
birokrasi pemerintahan negara lain, terutama yang menurut penilaian lembaga
internasional memiliki good public governance, sangatlah penting.
Kegiatan ini seharsnya tidak hanya dijadikan ajang jalan-jalan para pejabat.
Mereka harus serius menjalankannya seperti biasa dilakukan oleh sejumlah
perusahaan ternama. Kegiatan ini sekaligus dapat dipergunakan sebagai awal
untuk menentukan standar kinerja, indicator keberhasilan, serta target dan
tuntutan yang harus dikerjakan oleh birokrat kita, terutama untuk
melakukan change management.
·
Terwujudnya standar kinerja dan indicator keberhasilan yang konkret, jelas,
dapat dipraktikkan, dan dapat diukur dengan mekanisme pengendalian yang
efektif, efesien, dan tepat sasaran sehingga pengendalian mutuakan terjamin.
Pengendalian yang
lemah dan sistem kerja birokrasi kita adalah faktor utama yang
menghambatimplementasi kebijakan dan ketentuan perundang-undangan yang telah
dikeluarkan.
·
Mendayagunakan lembaga pengawasan untuk menjalankan peran kendali mutu dan
membentuk lembaga yang menjalankan peran penjaminan mutu agar dapat sampai pada
target yang telah ditetapkan dengan standar yang ada.
Ketika standar kinerja
dan indicator keberhasilan sudah jelas, perlu ada sistem pengendalian dan
pengawasan yang baik. Di samping itu juga perlu dibentuk lembaga penjamin mutu
(quality assurance). Lembaga ini belum ada di dalam pemerintahan kita.
Padahal, jaminan mutu adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, terutama untuk
memperbaiki kinerja birokrasi.
·
Pengawasan mencakup evaluasi mendasar terhadap rencana kerja
departemen/lembaga non-departemen secara ketat.
Setiap departemen atau
lembaga non departemen harus selalu melakukan pengawasan, termasuk evaluasi,
koreksi, dan sejenisnya untuk menjalankan RPJM Nasional (Perpres No. 7 tahun
2005). Namun seluruh perencanaan kerja pemerintah sendiri juga perlu dievaluasi
dan dikoreksi secara rutin setiap tahun.
·
Peningkatan gaji PNS secara signifikan.
Yang tidak kalah
penting dalam transformasi birokrasi adalah sistem remunerasi PNS,
termasuk para pejabatnya. Hal ini juga erat sekali kaitannya dengan kebijakan
dan komitmen pemberantasan KKN. Gaji PNS harus dinaikkan secara signifikan,
bukan kenaikkan berkala seperti yang terjadi selama ini yang hanya menutup
inflasi. Perbaikan renumerasi ini merupakan reformasi mendasar yang harus
dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk memperbaiki kinerja birokrasi kita.
·
Restrukturasi PNS.
Evaluasi mendasar
terhadap kinerja PNS hampir mirip dengan rekrutmen ulang. Namun sebelum
dilakukan rekrutmen ulang, PNS harus diberi waktu untuk memperbaiki diri.
Ketika standar kinerja dan indicator keberhasilannya sudah jelas, harus jelas
pula tuntutan kinerjanya.
·
Perubahan system pendidikan dan latihan.
Sistem pendidikan dan
latihan harus diperbaiki, direformasi secara mendasar. Diklat PNS, mulai untuk
pra jabatan, tenaga administrasi, sampai untuk pimpinan selama ini selalu
didominasi oleh aktifitas formal dan seremonial. Materi dan metode hampir
selalu sama, seolah menjadi doktrin yang sulit diubah, padahal dunia dan
tuntuta terhadap kinerja birokrasi selalu berubah, terlebih setelah era
reformasi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan
isi dan pembahasan, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Tujuan Reformasi
Birokrasi yaitu agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang
baik, bersih, dan berwibawa.
2. Dalam era globalisasi
ini birokrasi dituntut untuk lebih efisien, efektif, responsif dan akuntabel.
3. Hal pertama yang harus
dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut
sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu
perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun
eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan
kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Andrain, Charles
F.1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Social. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya
Azizy, A. Qodri.
2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT:
Gramedia Pustaka Utama
Budiardjo, Miriam.
2009. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
David O, Ted G.
1991. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: PPM
Dwiyanto, Agus, dkk.
2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Gaffar, Afan.
1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Hendra. Juni. 2013.
Fenomena Birokrasi di Indonesia. http://hendraspot.blogspot.com
Kusnardi, Ibrahim H.
1976. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum UI dan CV “Sinar Bakti”
Setiyono, Budi.
2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.
Semarang: Nuansa Cendikia
Surbakti, Ramlan.
1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia
Tamin, Faisal.
2004. Reformasi Birokrasi. Jakarta: Blantika
Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia.
Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Thoha, Miftah. 2012. Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di
Indonesia. Yogyakarta: Thafa Media dan Matapena Institute
Undang-undang. No. 28
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme
Warham, Joyce.
1977. An Open House Case. London: Routledge And Kegan Paul
https://nefifitriana.blogspot.co.id/2016/07/makalah-reformasi-birokrasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar